Thursday, December 18, 2008

Hijrahnya Seorang Muslimah Ke Manhaj Salaf

Sebuah Catatan Blog Perjalanan Seorang Muslimah dari Manhaj Tarbiyah ke Manhaj Salaf"

catatan ini merupakan catatan pribadi yang di berikan keizinan oleh penulisnya untuk mempublikasikan kepada umum , supaya apa yang dirasakan oleh nya dapat di kongsi bersama bagi sesiapa saja yang masih lagi tersangkut dengan manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj salaf , mengingat panjang nya catatan ini saya akan bagi menjadi beberapa bahagian , dan catatan ini juga saya edit tanpa mengurangi maksud asal dari si penulis ... semoga catatan ini bermanfaat kepada kita semua, dan kepada si penulis, saya ucapkan .. barakallahi fiik , tetaplah istiqomah di dalam menempuh manhaj salaf , manhaj yang tidak ada lagi keraguan di dalam nya , manhaj yang penuh dengan hujjah dan di atas nya lah kita berdiri untuk menebas segala macam khurafat dan bid`ah harakiyun ... allahu musta`an ..

Seorang ikhwan menanyakan lewat email mengapa Rytha hijrah….karena sesuatu hal email tersebut tidak sempat terbalas….
Mungkin dengan sharing di sini bisa memberikan jawaban bukan saja buat beliau tapi kepada saudara saudara seiman lainnya yang sekarang masih dalam lingkaran hizbiyah…. Rytha tidak akan membahas dengan detail dari segi shar’inya karena insyaAllah sudah banyak sekali ulama-ulama ahlul sunnah yang lebih berkompoten yang membahasnya… InsyaAllah akan diberikan referensi kepada mereka yang berhati ikhlas dan memang benar benar mencari jalan yang benar dan lurus dan bersungguh sungguh untuk mempelajarinya…
Yang akan Rytha paparkan di sini adalah apa yang Rytha rasakan dan yang Rytha alami sendiri.. Afwan ini tidak di maksudnya dalam ber ghibah yang semata mata untuk menjelekkan suatu golongan akan tertapi dalam rangka menasehati. Seperti halnya apa yang Imam Nawawi katakan… "Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar'i, di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah, yang demikian itu disebabkan enam perkara : Yang keempat, dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam kondisi-kondisi berikut ini.

Di antaranya, dalam rangka men-jarh (meyebutkan cacat) para majruhin (orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan yang demikian itu diperbolehkan berdasarkan ijma' kaum muslimin, bahkan bisa menjadi wajib hukumnya. Rytha maksud kan tulisan ini sebagai nasehat… insyaAllah….

Rytha menulis judul tulisan ini sebagai Hijrah…. Tapi hijrah di sini bukan bermaksud berarti pindah tempat melainkan hijrah dari duduk dan bermajelis hizbiyah ke lingkungan yang bermanhaj salafus sholeh….

Di indonesia ada suatu hizbiyah1 yang sangat berkembang pesat menguasai hampir sebagian besar aktifitas aktifitas keagamaan yang mereka menyebutkan dirinya adalah "tarbiyah" a.k.a (also known as) "ikhwani" a.k.a "PKS" yang mengadopsi pemikiran ikhwanul muslimin2… dan menggunakan buku buku ulama mereka sebagai text books…
Awalnya keputusan untuk hijrah itu terasa sangat sulit… karena sudah terlanjur dekat dan sayang dengan teman teman se- liqo3. Melihat wajah wajah polos mereka, yang tanpa mereka sadari mereka jatuh dalam suatu lingkaran yang mereka percaya sebagai lingkaran da’wah yang sunnah. Mereka orang-orang yang bersemangat untuk memperjuangkan Islam… Kadang hati semakin berat melihat jundi jundi kecil mereka yang polos….. Sangat sulit, ada perasaaan alangkah jeleknya meninggalkan saudara seiman tanpa terlebih dahulu melakukan sesuatu…..
Dulu Rytha berfikir Rytha lebih baik tetap berada di lingkungan tersebut dan melakukan perubahan sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan Rytha…tapi sepertinya tidak ada bedanya…

Baru akhirnya di sadari hal tersebut tidak tepat. InsyaAllah nanti Rytha akan berbagi mengapa pemikiran tersebut tidak tepat.
Suatu prinsip yang mendarah daging bagi para ikhwah tarbiyah adalah selama semua kelompok-kelompok pengajian yang ada bertujuan untuk mencari keridhoan Allah dan surga, maka kelompok itu semua adalah benar. Menganggap bahwa perbedaan itu adalah fitrah, dan justru menambah "khasanah" kekayaan cara berpikir umat Islam. Benar-benar telah terdoktrin oleh pemikirannya Hasan Al-Banna, yaitu: "Marilah kita bekerja sama untuk hal-hal yang disepakati, dan saling menghargai untuk hal-hal yang berbeda". InsyaAllah akan di share juga masalah ini nanti , Berikut ini adalah beberapa hal yang Rytha temukan menjadikan alasan Rytha untuk hijrah. Rytha akan bagi beberapa poin….

1. Murobbi.
Murobbi atau guru lebih di pilih karena faktor kesenioritasan, berdasarkan lamanya seseorang tersebut bergabung. Sehingga tidak jarang di dapati bahwa kapasitas keilmuan seorang Murobbi lebih rendah dari mad’u nya (murid).
Seorang "murobbi" mengatakan bahwa fenomena itu adalah suatu fenomena yang biasa bahkan inilah yang disebutkan sebagai "tarbiyah" yang sebenarnya. Bahwa kita harus bersabar untuk menghadapi guru yang kapasitas keilmuannya lebih rendah dari kita…Tidak jarang dan tidak aneh kalau Murobbi membaca al Qur’annya lebih jelek dari mad’u nya… mungkin yang di maksud dalam hal ini liqo di harapkan sebagai saran yang saling melengkapi antara mad'u dan murobbi....

Memang banyak pelajaran dan materi liqo yang sesungguhnya bagus dan dzat materi tersebut yang di ajarkan para ulama ahlul sunnah (seperti materi ma’rifatullah, ma’rifaturrasul dan lain lain ), tapi bila materi penting ini di sampaikan oleh murobbi yang belum tentu memiliki ilmu dan pemahaman yang baik, maka ini akan menyesatkan. Mungkin mereka akan membantah bahwa liqo yang sangat sebentar itu sangat mustahil untuk mencetak ahli syariah dan hanya lebih menekan kepada pembentukan generasi yang berwawasan dan berkepribadian Islami…
Tapi fungsi dari murobi sendiri di sini di harapkan murobbi bisa menjadi orang tua, sahabat pemimpin dan guru pada mad’u nya. Selayaknya kapasitas seorang guru yang menyampaikan ilmu haruslah yang memiliki ilmu.

Dari pengalaman yang Rytha lihat di lapangan, setiap orang di tarbiyah bisa menjadi murobbi. Setiap kader di harapkan menjadi murobbi, harus siap siapapun yang di tunjuk untuk menjadi murobbi.
Banyak yang menolak karena merasa kapasitas keilmuannya belum memadai. Tapi biasanya orang tersebut akan di nasehati bahwa kita harus berdawah walaupun untuk satu ayat. Kalau menunggu paham sampai siap… kita tidak akan pernah berda’wah. Di sisi yang lain mereka memerlukan kader yang pro aktif untuk menjadi murobbi karena adanya target perekrutan besar besaran untuk mencapai target beberapa persen dalam pemilu. Jadi di harapkan kader "senior" yang belum memiliki bimbingan (mad’u) harus berusaha mencari bimbingan. Bahkan ini di anggap suatu ke aiban bila sudah lama liqo’ tapi masih tidak memiliki mad’u.

Na’uzubillah… ikhwah yang paham pasti dapat merasakan alangkah berbahayanya pemikiran pemikiran seperti ini….. tapi ikhwah yang sudah berada di tarbiyah ikhwani pasti sangat paham dengan apa yang Rytha katakan…kalau benar benar jujur tidak akan menyangkal fenomena fenomena ini.

Memang benar Rasulullah shalallahu wa`alahi wassalam mengatakan bahwa sampaikanlah walau hanya satu ayat. Tapi ini berarti bahwa kita harus menyampaikan benar benar sesuatu yang sudah kita pahami dan kita kuasai… dan seharusnya berda’wah sesuai dengan kapasitas yang benar benar kita pahami… Dan bukanlah menjadi kewajiban setiap orang untuk menjadi murobbi dan guru.

Menjadi murobbi dadakan atau menjadi murobbi karena di paksakan tanpa mengetahui ilmu syar’i secara benar justru akan menyesatkan…. Hanya berdasarkan belajar dan membaca semalam buku buku syar’i dalam rangka menyampaikan materi…. Ini bukan suatu hal yang menjadikan seorang tersebut sebagai murobbi……

Kalau ingin berfikir jernih dan jujur ini bisa menjadi bibit munculnya pemikiran pemikiran yang salah… dan menimbulkan kebid’ahan kebid’ahan….
Mungkin ada ikhwah yang mengatakan bahwa liqo yang hanya 2 or 3 jam [walau kadang bisa molor sampe seharian tidak jelas]… tidak mungkin sempurna dan hanya sempat disampaikan beberapa hal hal penting saja, jadi para mad’u di harapkan menambah keilmuan lainya karena mereka memiliki perangkat "tarbiyah" yang lain seperti dauroh, mabit, tatsqif, membaca buku dan lain lain.

Ada baiknya kalau begitu para ikhwah tarbiyah juga mengikuti ta’lim dan dauroh ilmiyah dan membaca buku buku ilmiyah yang bermanhaj salaf yang di tulis oleh ulama ulama ahlul sunnah…. (Rytha yakin banyak ikhwah ikhwani yang tidak mengenal siapa yang di sebut ulama ) kebanyakan dari mereka hanya mengenal Hasan Al banna…. Said Qutb, Muhammad Ghazali, Yusuf Qordhawi, Said Hawa dan yang sejenisnya….) Tapi bukan mereka yang Rytha maksud sebagai ahlul sunnah….

InsyaAllah pada kesempatan lain akan di sampaikan beberapa ulama yang karya karya mereka yang patut di jadikan rujukan…. Ini akan lebih baik daripada ikutan mabid (baca: mabit, ed) yang merupakan malam ke-bid’ah-an atau membaca buku buku ulama ulama tersebut di atas yang banyak menyimpang dan di kritik ulama ulama ahlul sunnah….
Setiap orang tidak harus menjadi murobbi.. bahkan seorang ulama besar ahli hadist abad ini Syaikh Nasiruddin Al-Albani beliau mengatakan diri beliau sebagai thollabul ilmy yaitu penuntut ilmu.

Kalau kita tidak memiliki kemampuan dalam bidang syar’i ini malah menjadi wajib bagi kita untuk tidak menyampaikan hal hal yang kita tidak pahami karena Allah sendiri melaknat orang orang yang menyampaikan apa apa yang dia tidak ketahui. Rytha masih ingat dengan penuturan seorang murobbi yang juga seorang istri ustadz bahwa beliau mengaku beliau sih memang tidak paham tentang ilmu syar’i tapi beliau lebih banyak akan berbagi pengalaman hidup. … bisa di bayangkan pengajian lebih banyak di gunakan untuk berbagi pengalaman pribadi, praktek deen hanya banyak didasarkan pada pengalaman dan interpretasi sendiri.. dan menurut apa apa yang di rasakan …..

sedikitnya keilmuan seorang murobbi membuat liqo’at terkadang hanya untuk membuang buang waktu.. Dapat di bayangkan seorang wanita terkadang harus meninggalkan rumah, meninggalkan anaknya atau membawa anaknya untuk berdiam di suatu tempat yang akhirnya berhasil pada kesia siaan…

Rytha bisa merasakan bagaimana merasa sia sianya terkadang seseorang meninggalkan aktifitasnya hanya untuk berkumpul tampa menghasilkan hal berarti…

Pernah seorang murobbi membahas tentang bagaimana kita harus bersikap ramah terhadap sekeliling… kita harus menebar senyum…dan beliau memberi contoh dari perilaku seorang yang baik di lingkungan beliau… sampai pada suatu titik dimana kita juga harus senyum pada orang pemabuk yang merupakan laki laki non mahram…

ketika disampaikan ketidak setujuan…...beliau berusaha mengukuhkan pendapat beliau dengan "pengalaman pribadi beliau" dan cerita pengalaman orang lain… sangat jauh dari tinjauan fiqih dan syar’i yang syarat dengan hadist dan ayat dan juga fatwa fatwa ulama ahlul sunnah.. subhanallah…

Murobbi yang lain… menyampaikan materi dari buku… sepanjang pengajian beliau akan membaca dari buku dan sesekali akan memberikan penjelasan … bukan penjelasan atsar…. Tafsir atau syarah.. atau perkataan ulama.. melainkan penjelasan secara logika .....
footnote
1.Hizbiyyah Bukan Hizbullah : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=81&bagian=0 ; Benang Merah Antara Harokah Dan Khurofat 1/2
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1694&bagian=0
Benang Merah Antara Harokah Dan Khurofat 2/2
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1695&bagian=0 Ciri Khas Pengikut Harokah ½
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1564&bagian=0 Ciri Khas Pengikut Harokah 2/2
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1565&bagian=0
2 Sejarah Ikhwanul Muslimin, http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1653&bagian=0
Manhaj Dakwah Yang Melenceng Dari Syari'ah, http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1785&bagian=0
Sejarah Suram Ikhwanul Muslimin, http://darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=66
3 Istilah pengajian berkelompok sering di sebut liqo.
InsyaAllah bersambung.

[+/-] Selengkapnya...

Friday, December 12, 2008

Bid`ah Hasanah : Satu Penilaian Semula IV

AMARAN MENGADAKAN BID‘AH


Islam adalah agama wahyu dan bukan agama ciptaan manusia. Perbuatan menokok tambah (bid‘ah) dalam agama boleh menghilangkan ketule-nannya, sehingga menyebabkan orang ramai tidak akan dapat membezakan antara ajaran asal yang bersumber daripada Allah dengan yang ditokok tambah oleh manusia. Terdapat banyak hujah daripada al-Quran, al-Sunnah dan para ulama yang memberi amaran agar tidak menokok tambah dalam agama. Berikut ini dikemukakan sebahagian daripada hujah-hujah tersebut:

Amaran daripada al-Qur’an tentang bid‘ah: ...


Pertama:


Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ


Patutkah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang menentukan - mana-mana bahagian dari ugama mereka - sebarang undang-undang yang tidak diizinkan oleh Allah? [al-Syura 42:21]

Kedua:


Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


Oleh itu, hendaklah mereka yang mengingkari perintahnya, beringat serta berjaga-jaga jangan mereka ditimpa bala bencana, atau ditimpa azab seksa yang tidak terperi sakitnya. [al-Nur 24:63]

Ketiga:


Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ


Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan-perbuatan yang keji, sama ada yang nyata atau yang tersembunyi; dan perbuatan dosa; dan perbuatan menceroboh dengan tidak ada alasan yang benar; dan (diharamkan-Nya) kamu mempersekutukan sesuatu dengan Allah sedang Allah tidak menurunkan sebarang bukti (yang membenarkannya); dan (diharamkanNya) kamu memperkatakan terhadap Allah sesuatu yang kamu tidak mengetahuinya.” [al-A’raaf 7:33]



Amaran daripada al-Sunnah tentang bid‘ah:


Hadith Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang memberi amaran kepada pembuat dan pengamal bid‘ah sangat banyak jumlahnya. Kebanyakan para penyusun kitab hadith tidak ketinggalan memasukkan satu bab khas mengenainya di dalam kitab-kitab mereka. Di sini disebutkan beberapa riwayat, antaranya:


Pertama:
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:


...فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.


Sesungguhnya sesiapa yang hidup selepasku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin al-Mahdiyyin (mendapat petunjuk). Berpeganglah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham. Jauhilah kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) kerana setiap yang diada-adakan itu adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat.[1]
Maksud “…gigitlah ianya dengan geraham…” ialah peganglah ianya dengan bersungguh-sungguh serta bersabarlah dengannya.[2]


Kedua:
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:


مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.


“Sesiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (Islam) apa yang bukan daripadanya maka ianya tertolak.”[3]

Ketiga:
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:


وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً. قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَال:َ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.


“……Sesungguhnya Bani Israil berpecah kepada 72 puak dan umatku akan berpecah kepada 73 puak. Kesemua mereka dalam neraka kecuali satu puak”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Apakah puak itu wahai Rasulullah?” Jawab baginda: “Apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.”[4]

Keempat:
Abu Musa al-Asy‘ari radhiallahu 'anh berkata:


صَلَيْنَا المَغْرِبَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ قُلْنَا: لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّى مَعَهُ اْلعَشَاءَ قَالَ: فَجَلَسْنَا فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: "مَا زِلْتُمْ هَهُنَا؟" قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ صَلَيْنَا مَعَكَ الْمَغْرَبَ ثُمَّ قُلْنَا: نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلَّى مَعَكَ اْلعِشَاءَ. قَال:"أحْسَنْتُمْ أَوْ أَصَبْتُمْ" قَالَ: فَرَفَعَ رَأسَهُ إلىَ السَّماِء وَكانَ كَثِيرْاً مِمَّا يَرْفَعُ رَأسَهُ إلىَ السَّماِء فَقَالَ: "النُّجُومُ أَمَنَـةٌ للسَّمَاِء فَإذا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ، وَأناَ أَمَنَـةٌ لأَصْحَابِى فَإذا ذَهَبْتُ أَتى أَصْحَابِى مَا يُوْعَدُونَ وَأَصْحَابِى أَمَنَـةٌ لأمَّتِى فَإذَا ذَهَبَ أصْحَابِى أَتى أُمَّتِى مَا يُوْعَدُون".


“Kami telah menunaikan solat Maghrib bersama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian kami berkata: “Kalaulah kita tunggu sehingga kita dapat bersolat Isyak bersama baginda.” Maka kami tunggu sehingga baginda keluar kepada kami lalu bersabda, “Kamu semua masih di sini?” Jawab kami: “Wahai Rasulullah! Kami telah menunaikan solat Maghrib bersama engkau kemudian kami berkata, mari kita duduk sehingga kita dapat bersolat Isyak bersamamu.” Sabda baginda: “Kamu semua telah melakukan sesuatu yang baik lagi betul.”
Kemudian baginda mengangkat kepalanya (melihat) ke langit dan ramailah yang mengangkat kepala (melihat) ke langit lalu baginda bersabda: “Bintang-bintang tersebut adalah penyelamat langit. Apabila perginya bintang-bintang tersebut maka akan didatangilah langit apa yang telah dijanjikan untuknya. Aku adalah penyelamat sahabat-sahabatku. Apabila aku telah pergi maka akan didatangilah sahabat-sahabatku apa yang telah dijanjikan untuk mereka. Sahabat-sahabatku pula adalah penyelamat umatku. Apabila perginya sahabat-sahabatku maka akan didatangilah umatku apa yang dijanjikan untuk mereka.”[5]


Berkata al-Imam al-Nawawi rahimahullah:[6]
Maksud ungkapan “sahabat-sahabatku adalah penyelamat umatku” ialah mereka menyelamatkan umat dari zahirnya bid‘ah, mengada-adakan perkara baru dalam agama, fitnah terhadap agama, zahirnya syaitan, Rum dan selainnya ke atas mereka.



Amaran daripada para ulama’ tentang bid‘ah:


Para ulama’, terdiri daripada para sahabat dan para tokoh dulu dan kini, turut memberi amaran tentang bid ‘ah. Di sini disebutkan tiga contoh, satu daripada seorang sahabat, satu daripada seorang tokoh terdahulu dan satu daripada seorang tokoh terkini:

Pertama: Amaran ‘Abd Allah bin Mas‘ud.


‘Abd Allah bin Mas‘ud radhiallahu 'anh adalah sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang begitu terkenal dengan keilmuan dan kefahamannya dalam agama. al-Imam al-Darimi rahimahullah (255H) meriwayatkan amaran serta bantahan beliau terhadap bid‘ah berzikir secara kumpulan yang muncul pada zamannya:


عَنْ عمرو بن سلمة قَالَ: كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ فَقَالَ أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْد؟ُ قُلْنَا: لاَ! فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا.
فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْرًا. قَالَ: فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ, فَسَتَرَاهُ. قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ, فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ وَفِي أَيْدِيهِمْ حَصًى, فَيَقُولُ: كَبِّرُوا مِائَةً, فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً. فَيَقُولُ: هَلِّلُوا مِائَةً. فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً. وَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِائَةً. فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً. قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ وَانْتِظَارَ أَمْرِكَ.
قَالَ: أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ, وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ. ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ, فَقَالَ: مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ: فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ, فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ, وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ! هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ, وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ, وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ, أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلاَلَةٍ؟!
قَالُوا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ.
فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.


Daripada ‘Amr bin Salamah[7] katanya: “Satu ketika kami duduk di pintu ‘Abd Allah bin Mas‘ud sebelum solat subuh. Apabila dia keluar, kami akan berjalan bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang kepada kami Abu Musa al-Asy‘ari, lalu bertanya: “Apakah Abu ‘Abd al-Rahman[8] telah keluar kepada kamu?” Kami jawab: “Tidak!”. Maka dia duduk bersama kami sehingga ‘Abd Allah bin Mas‘ud keluar. Apabila dia keluar, kami semua bangun kepadanya.
Lalu Abu Musa al-Asy‘ari berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman, aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang aku tidak bersetuju, tetapi aku tidak lihat – alhamdulilah – melainkan ianya baik”. Dia bertanya: “Apakah ia?”. Kata Abu Musa: “Jika umur kamu panjang engkau akan melihatnya. Aku melihat satu puak, mereka duduk dalam lingkungan (halaqah) menunggu solat. Bagi setiap lingkungan (halaqah) ada seorang lelaki (ketua kumpulan), sementara di tangan mereka yang lain ada anak-anak batu. Apabila lelaki itu berkata : Takbir seratus kali, mereka pun bertakbir seratus kali. Apabila dia berkata: Tahlil seratus kali, mereka pun bertahlil seratus kali. Apabila dia berkata: Tasbih seratus kali, mereka pun bertasbih seratus kali.” Tanya ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Apa yang telah kau katakan kepada mereka?”. Jawabnya: “Aku tidak kata kepada mereka apa-apa kerana menanti pandangan dan perintahmu”.


Berkata ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Mengapa engkau tidak menyuruh mereka mengira dosa mereka dan engkau jaminkan bahawa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun”. Lalu dia berjalan, kami pun berjalan bersamanya. Sehinggalah dia tiba kepada salah satu daripada lingkungan berkenaan. Dia berdiri lantas berkata: “Apa yang aku lihat kamu sedang lakukan ini?” Jawab mereka: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman! Batu yang dengannya kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih”. Jawabnya: “Hitunglah dosa-dosa kamu, aku jamin pahala-pahala kamu tidak hilang sedikit pun. Celaka kamu wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kemusnahan kamu. Para sahabat Nabi masih lagi ramai, baju baginda belum lagi buruk dan bekas makanan dan minuman baginda pun belum lagi pecah.[9] Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya[10] , apakah kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk daripada agama Muhammad, atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu kesesatan?”


Jawab mereka : “Demi Allah wahai Abu ‘Abd al-Rahman, kami hanya bertujuan baik.” Jawabnya : “Betapa ramai yang bertujuan baik, tetapi tidak menepatinya.” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami satu kaum yang membaca al-Quran namun tidak lebih dari kerongkong mereka.[11] Demi Allah aku tidak tahu, barangkali kebanyakan mereka dari kalangan kamu.” Kemudian beliau pergi.
Berkata ‘Amr bin Salamah: “Kami melihat kebanyakan puak tersebut bersama Khawarij memerangi kami pada hari Nahrawan.”[12]


Lihatlah bagaimana ‘Abd Allah bin Mas‘ud radhiallahu 'anh membantah perbuatan ibadah kumpulan ini walaupun mereka pada asalnya memiliki niat dan pandangan yang baik. Pada zahirnya tiada yang buruk pada perbuatan mereka. Namun oleh kerana ia merupakan ibadah yang tidak ada contoh daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka ia ditolak. Bahkan ‘Abd Allah bin Mas‘ud memberi amaran betapa perbuatan bid‘ah yang kecil akan mengheret seseorang kepada bid‘ah yang lebih besar. ‘Abd Allah bin Mas‘ud menggambarkan mereka akan menyertai Khawarij yang sesat. Justeru itu ‘Abd Allah bin Mas‘ud juga pernah menyebut:[13]


اقتصاد في سنة خير من اجتهاد في بدعة.


Sederhana dalam sesuatu sunnah lebih baik daripada bersungguh sungguh dalam sesuatu bid‘ah .


إن البدعة الصغيرة بريد إلى البدعة الكبيرة.


Sesungguhnya bid‘ah yang kecil adalah pembawa kepada bid‘ah yang besar.

Kedua: Amaran al-Imam Malik Bin Anas


Seorang lelaki telah datang kepada al-Imam Malik rahimahullah (179H)[14] dan berkata:[15]
“Wahai Abu ‘Abd Allah (gelaran al-Imam Malik) daripada mana aku patut berihram?” Jawab al-Imam Malik: “Daripada Zu Hulaifah (ذو حليفة) di mana tempat yang Rasulullah berihram.” Kata lelaki itu: “Aku ingin berihram daripada Masjid Nabi.” Jawab al-Imam Malik: “Jangan buat (demikian).” Kata lelaki itu lagi: “Aku ingin berihram daripada kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Jawab al-Imam Malik: “Jangan buat (demikian), aku bimbang menimpa ke atas dirimu fitnah.” Tanya lelaki itu: “Apa fitnahnya? Ia hanya jarak yang aku tambah.”
Jawab al-Imam Malik:


وأي فتنة أعظم من أن ترى أنك سبقت إلى فضيلة قصّر عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم، وإني سمعت الله يقول: فَلْيَحْذَرْ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.


Apakah lagi fitnah yang lebih besar daripada engkau melihat bahawa engkau telah mendahului satu kelebihan yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menguranginya. Sesungguhnya aku telah mendengar Allah berfirman: (maksudnya) “Oleh itu, hendaklah mereka yang mengingkari perintahnya, beringat serta berjaga-jaga jangan mereka ditimpa bala bencana, atau ditimpa azab seksa yang tidak terperi sakitnya. [al-Nur 24:63]


Perhatikan bahawa sekalipun lelaki tersebut ingin berihram daripada tempat yang begitu baik iaitu Masjid Nabi atau kubur baginda shallallahu 'alaihi wasallam, al-Imam Malik rahimahullah membantahnya disebabkan ia adalah ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi. Beliau menyatakan ini adalah fitnah kerana seakan-akan lelaki itu menganggap dia dapat melakukan ibadah yang lebih baik daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketiga: Amaran al-Syeikh Dr Yusuf al-Qaradawi:


Ditanya kepada al-Syeikh Dr. Yusuf al-Qaradawi, semoga Allah memeliharanya, mengenai amalan Nisfu Sya’ban. Beliau menjawab:[16]
Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban, membaca do‘a tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid. Mereka membaca surah Yasin dan solat dua raka‘at dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do‘a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi‘in dan tabi’ tabi‘in). Ianya satu do‘a yang panjang yang menyanggahi nusus (nas-nas al-Quran dan al-Sunnah), juga bercanggahan dan bertentang maknanya...


Perhimpunan (malam Nisfu Sya’ban) seperti yang kita lihat dan dengar berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah bid‘ah dan diada-adakan. Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas. Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bid‘ah golongan selepas mereka dan setiap yang diadakan-adakan itu bid‘ah dan setiap yang bid‘ah itu sesat dan setiap yang sesat itu berada dalam neraka.
Demikian tegasnya tokoh yang masyhur ini terhadap amalan bid‘ah yang menjadi pegangan atau amalan dalam kebanyakan negeri umat Islam.


PENUTUP


Dalam ibadah tidak memadai hanya dengan niat yang baik tanpa mengikut syariat atau sunnah. Niat yang baik mestilah diiringi dengan cara yang betul. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ


Dia-lah yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup - untuk menguji dan menzahirkan keadaan kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya; dan Ia Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha Pengampun. [al-Mulk 67:02]
Makna “lebih baik amalnya” (أحسن عملا ) ialah siapa yang amalannya paling ikhlas dan paling betul (أخلصه وأصوبه). Ini kerana sesuatu amalan jika ikhlas tetapi tidak betul maka ianya tidak diterima. Begitu juga sekiranya betul tetapi tidak ikhlas, maka ianya tidak diterima.Betul merujuk kepada apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.

Insan tanpa panduan al-Quran dan al-Sunnah akan tersesat dalam menentukan cara ibadah kepada tuhan. Ini kerana sesuatu amalan jika ikhlas tetapi tidak betul maka ianya tidak diterima. Begitu juga sekiranya betul tetapi tidak ikhlas, maka ianya tidak diterima.yang berlaku di dalam agama-agama palsu. Mereka mencipta cara ibadah menurut akal fikiran mereka tanpa tunjuk ajar wahyu. Mereka tersesat jalan kerana mendakwa kehendak tuhan dalam ibadah tanpa bukti, sekalipun mungkin mereka itu ikhlas. Ini kerana ibadah adalah agama dan agama tidak boleh diambil melainkan dari tuhan itu sendiri. Untuk itu Islam mengharamkan bid‘ah atau mengada-adakan ibadah tanpa bersumber daripada al-Quran dan al-Sunnah. Keikhlasan tanpa diikuti dengan cara yang ditunjukkan oleh al-Quran dan al-Sunnah adalah sama seperti amalan percipta agama palsu yang ikhlas tanpa bimbingan wahyu.


Justeru itu ibadah mestilah bertepatan dengan apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdalilkan apa yang disebut oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ


Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu. Dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” [Ali Imran 3:31]
Islam mengharamkan bid‘ah atau mengada-adakan ibadah tanpa bersumber daripada al-Quran dan al-Sunnah. Keikhlasan tanpa diikuti dengan cara yang ditunjukkan oleh al-Quran dan al-Sunnah adalah sama seperti amalan percipta agama palsu yang ikhlas tanpa bimbingan wahyu.Ibadah yang tidak mengikut cara yang ditunjukkan oleh baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sekalipun niat pengamalnya baik, adalah tertolak. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِي


Dan sesiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan diterima daripadanya, dan dia pada hari akhirat kelak dari orang-orang yang rugi. [Ali Imran 3:85]

Tidak boleh bagi sesiapa pun dari kalangan imam-imam kaum muslimin sekalipun tinggi darjat ilmunya, demikian juga tidak boleh bagi mana-mana badan ilmu sekalipun hebat kedudukannya, demikian juga tidak boleh bagi mana-mana institusi ilmu, atau golongan dari kaum muslimin sama ada kecil atau besar, untuk mencipta (ibtida’) ibadah yang baru dalam agama Allah atau menokok tambah ibadah yang ada dalam agama atau mengubah cara yang dilakukan pada zaman Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam. Ini kerana pembuat syari‘at hanyalah Allah manakala al-Rasul (Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam) adalah penyampainya sedangkan kita hanyalah pengikutnya. Segala kebaikan itu dalam al-ittiba’ (mengikut apa yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya).Dr. ‘Abd al-Karim Zaidan, semoga Allah memeliharanya, turut menekankan perbezaan antara niat yang ikhlas dan ibadah yang betul:


Amalan salih ialah apa yang sahih dan ikhlas kepada Allah. Apa yang sahih itu ialah yang menepati syarak. Maka membuat bid‘ah dalam agama dengan menambah atau mengurangkannya adalah sesuatu yang tidak dibolehkan dan tiada pahala bagi pengamalnya sekalipun dengan niat beribadah kepada Allah…


Bid‘ah itu lebih buruk daripada maksiat. Ini kerana bid‘ah me-ngubah agama serta menghukum dan mentohmah syarak sebagai cacat, berhajatkan kepada penyempurnaan, (sama ada dalam bentuk) pengurangan dan mengubahan. Ini adalah perkara yang sangat besar yang tidak boleh kita beriktikad atau beramal dengannya.a dengan menambah atau mengurangkannya adalah sesuatu yang tidak dibolehkan dan tiada pahala bagi pengamalnya sekalipun dengan niat beribadah kepada Allah…Untuk itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberi amaran mengenai bid‘ah, sabdanya:


وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.


Jauhilah kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) kerana setiap yang diada-adakan itu adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat.Maka segala kebaikan ialah apa yang dibawa oleh syarak dan berpada dengannya.


Perlu ditekankan di sini, manhaj kita Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah ialah tidak menghukum seseorang kerana kejahilan yang tidak disengajakannya. Oleh itu jika seseorang itu melakukan ibadah dengan sangkaan ia adalah benar sedangkan hakikatnya adalah sebaliknya, dia tetap memperolehi pahala. Seseorang itu tidak dihukum disebabkan kejahilannya yang tidak disengajakan sedangkan dia telah berusaha untuk mendapatkan ilmu. Contohnya ialah orang awam yang tidak dapat membezakan antara hadith dengan bukan hadith, sahih dengan tidak sahih dan yang tidak mampu mengambil maklumat agama daripada sumbernya yang tulen. Ini semua dengan syarat dia tetap berusaha dan apabila sampai kepadanya ilmu yang sahih dan tulen, dia tidak bersikap ego terhadapnya tetapi terus merendahkan diri menerimanya. Hendaklah dia bertaubat dengan meninggalkan apa yang sebelum ini disangkakan benar kepada apa yang kini diketahuinya sahih lagi tulen. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً


Kecuali orang yang bertaubat dan beriman serta mengerjakan amal yang baik, maka orang-orang itu, Allah akan menggantikan kejahatan mereka dengan kebaikan dan adalah Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. [al-Furqan 25:70]


Umat Islam sepatutnya berlumba-lumba membuat bid‘ah dalam urusan dunia, bukan agama. Mereka diizinkan, malah disuruh memulakan perkara baru dalam urusan dunia yang memberi manfaat. Perkara kedua yang perlu ditekankan adalah, umat Islam sepatutnya berlumba-lumba membuat bid‘ah dalam urusan dunia, bukan agama. Malangnya mereka tidak membuat bid‘ah ini, iaitu memulakan ciptaan baru seperti senjata, peralatan moden, perubatan dan sebagainya. Padahal mereka diizinkan, malah disuruh memulakan perkara baru dalam urusan dunia yang memberi manfaat. Umat Islam masa kini jarang-jarang, malah hampir tiada, memulakan perkara yang baru dalam urusan dunia, sebaliknya hanya bergantung kepada dunia Barat.

Akhir kata, marilah kita berusaha agar ibadah kita menepati sunnah dan menjauhi bid‘ah. Marilah kita mendalami ilmu yang sahih lagi tulen agar dengan itu ibadah kita adalah sahih dan tulen juga. Apabila kita telah mencapai tahap ini, marilah kita membuktikan kesyukuran kita kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala dengan menyampaikan ilmu yang sahih dan tulen kepada umat Islam yang selainnya. Jangan menghukum mereka secara terburu-buru, sebaliknya betulkanlah mereka secara hikmah dan bijaksana. Jangan merasa gembira hanya apabila diri sendiri berada di atas kesahihan dan ketulenan tetapi bergembiralah hanya apabila umat Islam semuanya berada di atas kesahihan dan ketulenan. Berpegang kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bukan sahaja dalam beribadah tetapi juga dalam berdakwah:


فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ


Maka dengan sebab rahmat (yang melimpah-limpah) dari Allah (kepadamu wahai Muhammad), engkau telah bersikap lemah-lembut kepada mereka (sahabat-sahabat dan pengikutmu), dan kalaulah engkau bersikap kasar lagi keras hati, tentulah mereka lari dari kelilingmu.
Oleh itu maafkanlah mereka (mengenai kesalahan yang mereka lakukan terhadapmu), dan pohonkanlah ampun bagi mereka, dan juga bermesyuaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah berazam (sesudah bermesyuarat, untuk membuat sesuatu) maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengasihi orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. [Ali Imran 3:159]

footnote
[1] Diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Tirmizi, berkata al-Tirmizi: “Hadis ini hasan sahih”. Juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Darimi dalam kitab Sunan mereka. Demikian juga oleh Ibn Hibban dalam Shahihnya dan al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan menyatakan: “Hadith ini sahih”. Ini dipersetujui oleh al-Imam al-Zahabi (Tahqiq al-Mustadrak, 1/288).
[2] al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwazi (تحفة الأحوذي), jld. 7, m.s. 414.
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Rujuk Shahih Muslim – hadith no: 1718 (Kitab al-Aqdiyyah, Bab kritikan ke atas hukum batil dan perkara ciptaan baru).
[4] Diriwayatkan oleh al-Tirmizi dalam kitab Sunannya dan beliau berkata: “Hadis ini hasan gharib”. al-Diya` al-Maqdisi (الضياء المقدسي) menyatakan sanad hadith ini hasan. (al-Diya al-Maqdisi¸ al-Ahadith al-Mukhtarah, jld. 7, m.s. 278). al-Albani juga menyatakan ianya hasan. (al-Albani, Shahih Sunan al-Tirmizi, jld. 2, m.s. 334).
[5] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahihnya – hadith no: 2531 (Kitab keutamaan para sahabat, Bab menerangkan Nabi meninggalkan amanah kepada para sahabat...).
[6] Syarh Sahih Muslim, 16/66.
[7] Beliau adalah seorang tabi`in, anak murid ‘Abd Allah bin Masud. Meninggal dunia pada 85H.
[8] Gelaran untuk `Abd Allah bin Mas`ud.
[9] Maksudnya baginda shallallahu ‘alaihi wasallam baru sahaja wafat, tetapi mereka telah melakukan bid`ah.
[10] Maksudnya Allah.
[11] Ini salah satu sifat Khawarij yang disebut dalam hadith-hadith.
[12] Riwayat al-Darimi di dalam Musnadnya dengan sanad yang dinilai sahih oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadith al-Shahihah, jld. 5, m.s. 11.
[13] Lihat: Silsilah al-Ahadith al-Sahihah, jld. 5, m.s. 11.
[14] Beliau ialah imam Mazhab Maliki, pembesar Atba’ al-Tabi‘in. Guru kepada al-Imam al-Syafi'i. Tokoh fekah dan hadith yang tiada tolok bandingnya. Karya beliau yang agung ialah kitab al-Muwattha’. Berkata al-Imam al-Sayuti: “Beliau guru para imam, Imam Dar al-Hijrah (Madinah), mengambil hadith daripadanya oleh al-Syafi‘i dan ramai lagi. Berkata al-Syafi’i: ‘Apabila datangnya athar, maka Malik adalah bintang’.” (al-Imam al-Sayuti, Tabaqat al-Huffaz, jld. 1, m.s. 96)
[15] al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 102.
[16] Dr. Yusuf al-Qaradawi, Fatawa Mu`asarah, jld. 1, m.s. 382-383 (nukilan berpisah).

[+/-] Selengkapnya...

Wednesday, December 10, 2008

Bid`ah Hasanah : Satu Penilaian Semula III

SALAH FAHAM TERHADAP UCAPAN ‘UMAR AL-KHATTAB DAN HADITH SUNNAH HASANAH

Dalam usaha mem-pertahankan tindakan-tindakan yang dianggap bid‘ah di sisi syarak, sesetengah pihak menggunakan beberapa riwayat sebagai bukti bahawa diharuskan membuat bid‘ah selagi mana ia dipandang baik oleh pembuatnya. Antara yang masyhur ialah ucapan ‘Umar Ibn Khattab radhiallahu 'anh yang menyebut “sebaik-baik bid‘ah” untuk Solat Tarawih berjamaah dan perkataan “Sunnah Hasanah” dalam sebuah hadith Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Bab ini akan menjelaskan kekeliruan yang berkaitan dengan riwayat-riwayat tersebut...

Salah Faham Terhadap Ucapan ‘Umar al-Khattab


Sesetengah pihak cuba berdalil dalam membolehkan bid‘ah dengan menyatakan bahawa Saiyyidina ‘Umar radhiallahu 'anh turut telah membuat bid‘ah. Mereka berkata, pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada Solat Tarawih berjamaah lalu ‘Umar melakukannya dan menyatakannya sebagai: “Sebaik-baik bid‘ah” (نعمت البدعة هذه).
Yang mereka maksudkan ialah apa yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahihnya dan al-Imam Malik dalam al-Muwattha’:


عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ. فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ. قَالَ عُمَرُ: نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنِ الَّتِي يَقُومُونَ. يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ.


Daripada ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Qari, katanya: Pada satu malam di bulan Ramadan aku keluar bersama dengan ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anh ke masjid. Di dapati orang ramai berselerakan. Ada yang solat bersendirian, ada pula yang bersolat dan sekumpulan (datang) mengikutinya.
‘Umar berkata: “Jika aku himpunkan mereka pada seorang imam adalah lebih baik.” Kemudian beliau melaksanakannya maka dihimpunkan mereka dengan (diimamkan oleh) Ubai bin Ka‘ab. Kemudian aku keluar pada malam yang lain, orang ramai bersolat dengan imam mereka (Ubai bin Ka‘ab).
Berkata ‘Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah perkara ini, sedangkan yang mereka tidur (solat pada akhir malam) lebih dari apa yang mereka bangun (awal malam).”[1]


Berdasarkan riwayat di atas, ada yang tersalah sangka dengan menganggap ‘Umar bin al-Khattab adalah orang yang pertama memulakan Solat Tarawih secara berjamaah. Maka dirumuskan bahawa ia adalah satu perbuatan bid‘ah yang dianggap baik oleh ‘Umar. Justeru boleh membuat bid‘ah di dalam ibadah asalkan ia dilakukan dengan niat yang baik.
Sebenarnya rumusan seperti ini muncul kerana kurang membaca hadith-hadith Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan Solat Tarawih secara berjamaah dan ini jelas tertera dalam kitab-kitab hadith, seperti dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Hadith yang dimaksudkan berasal daripada ‘Aisyah radhiallahu 'anha:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ. فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا. فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ. فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا. فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ. فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ. فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ .


Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar pada suatu pertengahan malam. Baginda solat di masjid (Masjid Nabi). Beberapa orang mengikut solat baginda (menjadi makmum). Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenainya. Maka berkumpullah lebih ramai lagi orang (pada malam kedua). Baginda bersolat dan mereka ikut solat bersama. Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenainya. Maka bertambah ramai ahli masjid pada malam ketiga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar bersolat dan mereka ikut solat bersama. Apabila malam keempat, masjid menjadi tidak muat dengan ahli. (Baginda tidak keluar) sehingga pada waktu solat subuh. Selesai solat subuh, baginda mengadap orang ramai, bersyahadah seraya bersabda: “Amma ba’d, sesungguhnya bukan aku tidak tahu penantian kalian (di masjid pada malam tadi) tetapi aku bimbang difardukan (Solat Tarawih) ke atas kalian lalu kalian tidak mampu.[2] Hal sebegini berlaku sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat.[3]


Dalam sebahagian riwayat al-Bukhari dan Muslim disebut: “…yang demikian berlaku pada bulan Ramadhan.” (وذلك في رمضان) s[4]


Hadith ini dengan jelas menunjukkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah yang pertama memulakan Solat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam. Walaubagaimanapun baginda tidak melakukannya secara berterusan, bukan kerana ia perbuatan yang salah tetapi kerana bimbang ia menjadi satu kewajipan. Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, kebimbangan ini tidak wujud lagi, maka dengan itu ‘Umar meneruskan semula Solat Tarawih secara berjamaah. Justeru ‘Umar al-Khattab bukanlah orang yang pertama memulakannya secara berjamaah.


al-Imam al-Syatibi rahimahullah menegaskan:


Renungi hadith ini. Ia menunjukkan kedudukan Solat Tarawih adalah sunat. Sesungguhnya solat baginda pada peringkat awal menjadi dalil menunjukkan kesahihan menunaikannya di masjid secara berjamaah pada bulan Ramadan. Baginda tidak keluar selepas itu adalah kerana bimbang ia difardukan. Ini tidak menunjukkan ia dilarang secara mutlak kerana zaman baginda ialah zaman wahyu dan tasyri’ (perundangan) (sehingga) ada kemungkinan akan diwahyukan kepada baginda sebagai satu kewajipan jika manusia mengamalkannya. Apabila telah hilang ‘illah al-tasyri’[5] dengan wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka ia kembali kepada asalnya.[6]


Timbul persoalan seterusnya, mengapakah Abu Bakr radhiallahu 'anh tidak menghimpunkan orang ramai untuk melakukan Solat Tarawih secara berjamaah? Untuk mengetahui jawapannya, kita merujuk sekali lagi kepada penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullah:
Adapun (sebab) Abu Bakr tidak mendirikannya adalah kerana salah satu daripada berikut, sama ada (pertama) dia berpendapat solat orang ramai pada akhir (malam) lebih afdal padanya dari dihimpunkan mereka dengan satu imam pada awal malam. Ini disebut oleh al-Turtus (الطرطشي) ataupun (kedua) disebabkan kesempitan waktu pemerintahannya[7] untuk melihat perkara-perkara cabang seperti ini sedangkan beliau sibuk dengan golongan murtad dan selainnya yang mana lebih utama daripada Solat Tarawih.[8]


Timbul persoalan kedua, kenapakah ‘Umar al-Khattab radhiallahu 'anh menggelar hal tersebut sebagai satu bid‘ah? Sekali lagi, penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullah menjadi rujukan:


Dia menamakannya bid‘ah hanya disebabkan pada zahirnya kerana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah meninggalkannya dan sepakat pula ia tidak berlaku pada zaman Abu Bakr radhiallahu 'anh. Ia bukanlah bid‘ah pada makna (syarak). Sesiapa yang menamakan bid‘ah disebabkan hal ini, maka tiada perlu perbalahan dalam meletakkan nama. Justeru itu tidak boleh berdalil dengannya untuk menunjukkan keharusan membuat bid‘ah.[9]


‘Umar menamakan Solat Tarawih berjamaah pada zamannya sebagai bid‘ah hanya disebabkan pada zahirnya. Ini kerana Rasulullah telah mening-galkannya dan sepakat pula ia tidak berlaku pada zaman Abu Bakr radhiallahu 'anh. Ia bu-kanlah bid‘ah pada makna (syarak). Jika hendak di-ukur pada makna syarak, ia sebenarnya adalah Sunnah.Jelaslah ucapan ‘Umar bukanlah merujuk kepada bid‘ah yang dilarang oleh syarak tetapi merujuk kepada bid‘ah yang dimaksudkan dari segi bahasa atau keadaan. Ini kerana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melakukan Solat Tarawih secara berjamaah lalu berhenti disebabkan faktor penghalang yang dinyatakan tadi. Apabila faktor penghalang telah hilang, maka ‘Umar menghidupkannya semula. Justeru itu beliau menamakannya bid‘ah. Perkataan bid‘ah yang digunakan oleh ‘Umar radhiallahu 'anh hanya merujuk pada segi bahasa, tidak pada segi syarak. Dari segi syarak, ia adalah Sunnah kerana merupakan sesuatu yang pernah berlaku sebelumnya pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.



Salah Faham Terhadap Hadith Sunnah Hasanah

Terdapat sebuah hadith yang disering disalah fahami bagi membolehkan amalan bid‘ah. Hadith yang dimaksudkan ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:


مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.


Sesiapa yang memulakan dalam Islam sunnah yang baik lalu ia diamalkan selepas itu, ditulis untuknya (pahala) seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa dikurangkan pahala mereka (para pengamal itu) sedikit pun. Sesiapa yang memulakan dalam Islam sunnah yang jahat lalu ia diamalkan selepas itu ditulis untuknya (dosa) seperti dosa orang yang mengamalkannya tanpa dikurangkan dosa mereka (para pengamal itu) sedikit pun.[10]


Hadith ini dijadikan bukti bahawa tidak mengapa melakukan bid‘ah asalkan ia baik. Ini adalah bukti yang salah hasil daripada kefahaman yang salah. Kefahaman yang benar dapat diperoleh dengan merujuk kepada Sabab al-Wurud (سبب الورود) bagi hadith ini. Jika dalam pengajian tafsir ada bab yang dinamakan Sabab al-Nuzul, maka dalam hadith ia dinamakan Sabab al-Wurud atau Sabab Wurud al-Hadith. Saya ta’rifkan Sabab Wurud al-Hadith sebagai:


ما دعا الحديثَ إلى وجوده، أيام صدوره.


Apa yang membawa kepada kewujudan hadith pada hari-hari kemunculannya[11]


Kadang-kala sebab ter-bitnya sesuatu hadith sangat mempengaruhi maksud hadith. Kesala-han dalam memahami sebab terbitnya hadith boleh membawa kepada kesalahan faham kepada maksud hadith.Maksudnya, faktor yang menyebabkan sesebuah hadith itu terbit daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kata lain, faktor-faktor yang menyebabkan baginda mengucapkan sesuatu ucapan, melakukan sesuatu perbuatan atau mengakui sesuatu tindakan. Memahami sebab-sebab yang menyebabkan terbitnya sesebuah hadith adalah sangat penting bagi mengelakkan kita daripada meletakkan hadith tidak pada tempatnya. Ini kerana kadang-kala sebab terbitnya sesuatu hadith sangat mempengaruhi maksud hadith. Kesalahan dalam memahami sebab terbitnya hadith boleh membawa kepada kesalahan faham kepada maksud hadith. Umpamanya hadith yang di atas ada Sabab al-Wurudnya dan ini boleh dirujuk dalam hadith itu sendiri dalam bentuknya yang lengkap:


عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: جَاءَ نَاسٌ مِنَ الأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. عَلَيْهِمُ الصُّوفُ. فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ. قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ. فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ. فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ. قَالَ: ثُمَّ إِنَّ رَجُلاً مِنَ لأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْء


Daripada Jarir bin ‘Abd Allah katanya: Datang sekumpulan Arab Badawi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka memakai pakaian bulu. Baginda melihat buruknya keadaan mereka. Mereka ditimpa kesusahan. Baginda menggesa orang ramai bersedekah. Namun mereka lambat melakukannya sehingga kelihatan kemarahan pada wajah baginda. (Kata Jarir) Kemudian seorang lelaki daripada golongan Ansar datang dengan sebekas perak (dan mensedekahkannya). Kemudian datang seorang yang lain pula, kemudian orang ramai datang (bersedekah) berturut-turut. Sehingga terlihat kegembiraan pada wajah baginda.
(Melihat yang sedemikian) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesiapa yang memulakan dalam Islam sunnah yang baik lalu ia diamalkan selepas itu, ditulis untuknya (pahala) seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa dikurangkan pahala mereka (para pengamal itu) sedikit pun. Sesiapa yang memulakan dalam Islam sunnah yang jahat lalu ia diamalkan selepas itu ditulis untuknya (dosa) seperti dosa orang yang mengamalkannya tanpa dikurangkan dosa mereka (para pengamal itu) sedikit pun.[12]


Dengan merujuk Sabab al-Wurud dalam hadis di atas, kita dapat mengetahui bahawa “Sunnah Hasanah” yang dimaksudkan merujuk kepada sedekah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia bukannya satu perbuatan yang tidak memiliki asal usul di dalam syariat. Memulakannya tidak bermaksud memulakan amalan baru, sebaliknya bermaksud memulakan langkah atau tindakan bagi perkara yang sudah ada asal usulnya.
“Sunnah Hasanah” yang dimaksudkan merujuk kepada sedekah yang dianjurkan oleh Nabi. Ia bukannya satu perbuatan yang tidak memiliki asal usul di dalam syariat. Memulakannya tidak bermaksud memulakan amalan baru, sebaliknya memulakan langkah atau tindakan bagi perkara yang sudah ada asal usulnya.

Lebih lanjut, marilah kita merujuk kepada penjelasan al-Syeikh ‘Ali Mahfuz[13] dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madarr al-Ibtida’ (الإبداع في مضارّ الابتداع) ketika menjawab kekeliruan orang-orang yang menjadikan hadith ini sebagai hujah bagi membolehkan bid‘ah:[14]


Jawapan terhadap kekeliruan ini ialah, bukanlah maksud memulakan sunnah itu membuat rekaan (baru). Namun maksudnya (ialah memulakan) amalan yang thabit (pasti) daripada sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam … Sesungguhnya sebab yang kerananya terbit hadith ini ialah sedekah yang disyariatkan … (lalu disebut hadith di atas secara lengkap) … hadith ini menunjukkan bahawa yang dikatakan sunnah di sini seperti apa yang dilakukan sahabat tersebut yang membawa sebekas perak. Dengan sebabnya terbukalah pintu sedekah dengan cara yang lebih nyata sedangkan sedekah memang disyariatkan dengan kesepakatan ulama’. Maka jelas maksudnya (“Sesiapa yang memulakan Sunnah Hasanah…”) di sini ialah sesiapa yang beramal. Ini kembali kepada hadith ( من أحيا سنة قد أميتت بعدي فإن له من الإجر…). s[15] Seakan-akan sunnah itu sedang tidur maka sahabat radhiallahu 'anh berkenaan menggerakkannya dengan perbuatannya. Bukan maksudnya mengadakan sunnah yang (sebelumnya) tidak pernah ada.


Dalam Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyad al-Salihin (نزهة المتقين شرح رياض الصالحين) karya Dr. Mustafa al-Bugha[16] dan rakan-rakannya, dijelaskan:[17]


Hadith ini dianggap sebagai asal dalam menentukan Bid‘ah Hasanah dan Saiyyiah. Bersegeranya sahabat, berlumba dan bersaing, dalam bersedekah adalah Bid‘ah Hasanah –seperti yang disebut oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dari sini difahami bahawa apa yang dikatakan Bid‘ah Hasanah itu adalah sesuatu yang pada asalnya disyarakkan seperti sedekah.


Berkata al-Syeikh Muhammad bin Salih al-‘Utsaimin rahimahullah (1421H)[18]:[19]


Jika kita mengetahui sebab (terbitnya) hadith ini dan meletakkan maknanya dengan betul, maka jelas bahawa yang dimaksudkan dengan “memulakan sunnah” di sini ialah memulakan amal. Bukan memulakan tasyri’ (syariat baru). Ini kerana tasyri’ hanya boleh dimulakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maksud hadith “sesiapa yang memulakan” ialah memulakan amal dengannya dan orang ramai mencontohinya… atau boleh dimaksudkan juga sesiapa yang memulakan jalan yang baik yang menyampaikan kepada ibadah lalu orang ramai mencontohinya. Ini seperti menulis buku, meletakkan bab-bab ilmu, membina sekolah dan sebagainya dimana ia adalah jalan kepada perkara yang dituntut syarak. Apabila seorang insan memulakan jalan yang membawa kepada perkara yang dituntut oleh syarak dan jalan itu pula tidak terdiri daripada yang dilarang, maka dia termasuk dalam hadith ini. Jika makna hadith adalah seperti yang disalah fahami, iaitu seorang insan boleh membuat apa jua syariat yang dia mahu, bererti agama Islam belum sempurna pada (pengakhir) hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.



Kesimpulan Perbincangan


Sebagai kesimpulan perbincangan, sekali lagi ditegaskan bahawa maksud hadith “…memulakan dalam Islam sunnah yang baik (Sunnah Hasanah)…” ialah memulakan perkara yang sudah sedia memiliki asal usul di dalam syarak seperti sedekah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

footnote :
[1]Rujuk Shahih al-Bukhari – hadith no: 2010 (Kitab Solat Tarawih, Bab keutamaan orang yang beribadah pada malam Ramadhan) dan al-Muwattha’ (الموطأ) al-Imam Malik – hadith no: 231 (Kitab seruan kepada solat, Bab apa yang berkenaan solat pada malam Ramadhan).
[2]Saya katakan, Allah tidak mungkin menfardukan sesuatu yang manusia tidak mampu. Namun maksud Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ialah baginda bimbang umat Islam akan gagal atau cuai melakukannya lalu mereka berdosa. Baginda bersifat mengasihi umat, lalu mengelakkan dari ia diwajibkan oleh Allah.
[3] Rujuk Shahih Muslim – hadith no: 761 (Kitab solat musafir dan menqasarkannya, Bab anjuran bersolat pada malam Ramadhan)
[4] Rujuk Shahih al-Bukhari – hadith no: 2011 (Kitab Solat Tarawih, Bab keutamaan orang yang beribadah pada malam Ramadhan)
[5]‘Illah al-Tasyri’ (علة التشريع) bermaksud punca yang menyebabkan diletakkan sesuatu perundangan atau hukum. Dalam kes ini, punca baginda mengelak solat tersebut berjamaah secara berterusan ialah bimbang ia menjadi kewajipan. Baginda tidak ingin membebankan umat dengan suatu kewajipan baru, dibimbangi mereka akan cuai dan akhirnya berdosa.
[6] al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 147.
[7] Saiyyidina Abu Bakr radhiallahu 'anh hanya sempat memerintah dua tahun tiga bulan. (Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah (البداية والنهاية), jld. 7, m.s. 18)
[8] al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 147-148.
[9] al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 148.
[10] Rujuk Shahih Muslim – hadith no: 1017 (Kitab Zakat, Bab suruhan bersedekah sekalipun dengan setengah biji tamar…).
[11] Saya sebut “saya ta’rifkan” kerana penulisan para ulama terdahulu tidak meletakkan ta’rif yang jelas dan kaedah-kaedah yang tetap dalam ilmu ini sekalipun mereka ada menyebut tentang kepentingannya. Alhamdulillah saya telah memperolehi Ph.D dengan menulis tesis dalam subjek ini berjudul: Sabab Wurud al-Hadith: Dirasat Tahliliyyah bi tarkiz khas ‘ala Dawabit wa Ma‘ayir (سبب ورود الحديث: دراسة تحليلية بتركيز خاص على الضوابط والمعايير) dan menggunakan ilmu ini. Kaedah-kaedah ini adalah kesimpulan daripada penulisan para ulama hadith dan fikh terdahulu dan sekarang yang muktabar.
[12]Rujukan yang sama sebelumnya, Shahih Muslim – hadith no: 1017 (Kitab Zakat, Bab suruhan bersedekah sekalipun dengan setengah biji tamar…).
[13] al-Syeikh ‘Ali Mahfuz semasa hidupnya adalah anggota Pembesar ‘Ulama Universiti al-Azhar. Buku tulisan beliau ini bertujuan memerangi bid‘ah yang banyak berlaku dalam masyarakat. Buku ini mendapat pengiktirafan para ulama al-Azhar dan dijadikan sukatan silibus pelajaran. Beliau meninggal dunia pada tahun 1942. Sila lihat pujian dan pengiktirafan untuk buku ini dalam edisi cetakan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
[14] ‘Ali Mahfuz, al-Ibda’ fi Madarr al-Ibtida’, m.s. 128-129. (nukilan berpisah)
[15] Hadith yang dimaksudkan ialah:
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ.
Sesiapa selepasku yang menghidupkan satu sunnah dari sunnahku yang telah mati, maka baginya pahala seperti orang yang beramal dengannya dengan tidak dikurangkan pahala mereka sedikitpun. Hadith ini diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan Ibn Majah. al-Tirmizi menghasankannya. Akan tetapi yang benar hadis ini tertolak kerana kedua-duanya meriwayatkannya daripada jalan Kathir bin ‘Abd Allah, beliau matruk iaitu dianggap pendusta atau pereka hadith. Justeru itu penilaian yang dibuat oleh al-Imam al-Tirmizi dipertikaikan. Berkata al-Munziri rahimahullah (656H): “Bagi hadith ini ada syawahid (lafaz-lafaz hadith lain yang menyokongnya).” (al-Munziri, al-Tarhib wa al-Targhib, jld. 1, m.s. 47).
[16]Beliau ialah seorang tokoh semasa yang masyhur, bermazhab al-Syafi’i.
[17]Dr. Mustafa al-Bugha, Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyad al-Salihin , jld. 1, m.s. 160.
[18]Beliau ialah Abu ‘Abd Allah Muhammad bin al-Shalih bin Muhammad bin al-‘Utsaimin, seorang ahli fiqh yang terkenal daripada Arab Saudi. Banyak mengarang dan merupakan salah seorang ahli panel majlis fatwa Arab Saudi.
[19] Muhammad bin Salih al-‘Utsaimin, Alfaz wa Mafahim (ألفاظ ومفاهيم), m.s. 53.

bersambung

[+/-] Selengkapnya...

Bid`ah Hasanah : Satu Penilaian Semula II

MEMAHAMI MAKSUD BID‘AH HASANAH

Sebelum kita menyelidiki maksud Bid‘ah Hasanah yang disebutkan dalam beberapa teks para ulama, terlebih dahulu kita wajar mendengar peringatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berhubung dengan bid‘ah. Sabda baginda:


...فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.


Sesungguhnya sesiapa yang hidup selepasku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin al-Mahdiyyin (mendapat petunjuk). Berpeganglah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham. Jauhilah kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) kerana setiap yang diada-adakan itu adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat.[1]


Berdasarkan hadith ini, baginda menggunakan perkataan (كلّ) yang bermaksud semua. Berpandukan hadith ini dan kefahaman kita terhadap maksud bid‘ah seperti yang dinyatakan oleh al-Imam al-Syatibi, maka bid‘ah dari segi istilah syarak tidak sepatutnya dibahagikan kepada hasanah (baik) dan saiyyiah (buruk). Yang benar kesemuanya adalah saiyyah dan dhalalah (kesesatan). ..


al-Imam Malik bin Anas rahimahullah (179H) berkata:[2]


من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة، لأن الله يقول: (اليَومَ أكْمَلْتُ لَكُم دِينَكُمْ) فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا.


Sesiapa yang membuat bid‘ah dalam Islam dan menganggapnya baik maka dia telah mendakwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhianati risalah. Ini kerana Allah telah berfirman: "Pada hari ini aku telah sempurnakan agama kamu". Apa yang pada hari tersebut tidak menjadi agama, maka dia tidak menjadi agama pada hari ini.


Perbahasan Bid‘ah Hasanah


Sesiapa yang membuat bid‘ah dalam Islam dan menganggapnya baik maka dia telah mendakwa Muhammad mengkhianati risalah. Ini kerana Allah telah berfir-man: "Pada hari ini aku telah sempurnakan agama kamu". Apa yang pada hari tersebut tidak menjadi agama, maka dia tidak menjadi agama pada hari ini.


Ada beberapa tokoh sarjana Islam, terutamanya tokoh-tokoh mazhab al-Syafi’i, yang telah menyebut dalam kitab-kitab mereka istilah Bid‘ah Hasanah atau yang hampir dengannya, seperti Bid‘ah Mahmudah (بدعة محمودة), bid‘ah wajib, bid‘ah sunat dan bid‘ah harus. Antara tokoh tersebut ialah al-Imam al-Syafi’i (204H), al-Imam al-‘Izz ‘Abd al-Salam (660H), al-Imam al-Nawawi (676H) dan al-Imam al-Sayuti (911H) rahimahumullah.


Akan tetapi apabila diteliti ucapan-ucapan mereka, kita dapati bid‘ah yang mereka maksudkan merujuk kepada Bid‘ah Hasanah dari sudut bahasa, bukan bid‘ah dari segi syarak. Marilah kita mengkaji lebih lanjut ucapan-ucapan mereka:


Perbahasan Ucapan al-Imam al-Syafi‘i rahimahullah (204H)[3]

Berkata Ibn Rajab al-Hanbali rahimahullah (795H):


"Bid‘ah itu ada dua jenis: Bid‘ah Mahmudah (dipuji) dan Bid‘ah Mazmumah (dikeji). Apa yang menepati sunnah maka ia dipuji. Apa yang menyanggahi sunnah maka ia dikeji." (al-Imam al-Syafi’i) al-Syafi‘i berkata, "Bid‘ah itu ada dua jenis: Bid‘ah Mahmudah (dipuji) dan Bid‘ah Mazmumah (مذمومة) (dikeji). Apa yang menepati sunnah maka ia dipuji. Apa yang menyanggahi sunnah maka ia dikeji."
(Ibn Rajab meneruskan) Maksud al-Syafi‘i rahimahullah ialah seperti yang kita sebutkan sebelum ini, bahawa Bid‘ah Mazmumah ialah apa yang tiada asal dari syariat untuk dirujuk kepadanya. Inilah bid‘ah pada istilah syarak. Adapun Bid‘ah Mahmudah ialah apa yang bertepatan dengan sunnah. Iaitu apa yang ada baginya asal untuk dirujuk kepadanya. Ia adalah bid‘ah dari segi bahasa, bukannya dari segi syarak kerana ia menepati sunnah. [4]


Justeru itu ketika menghuraikan maksud pembahagian bid‘ah oleh al-Imam al-Syafi‘i, al-Hafizd Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (852H) berkata:
Maka bid‘ah pada ta’rifan syarak adalah dikeji. Ini berbeza dengan (maksud bid‘ah dari segi) bahasa di mana setiap yang diada-adakan tanpa sebarang contoh dinamakan bid‘ah sama ada dipuji ataupun dikeji.[5]


Antara bukti al-Imam al-Syafi‘i tidak memaksudkan bid‘ah dalam ibadah sebagai Bid‘ah Mahmudah ialah bantahan beliau terhadap golongan yang berterusan dalam berzikir secara kuat selepas solat. Amalan ini dianggap Bid‘ah Hasanah oleh sesetengah pihak.
Ketika mengulas hadith Ibn ‘Abbas radhiallahu 'anh:


إنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.


Sesungguhnya mengangkat suara dengan zikir setelah orang ramai selesai solat fardu berlaku pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam… al-Imam al-Syafi’i dalam kitab utamanya al-Umm berkata:[6]


وأختار للامام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكرَ إلا أن يكون إماما يُحِبُّ أن يتعلّم منه فيجهر حتى يُرى أنه قد تُعُلِّمَ منه ثم يُسِرّ.


Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berzikir selepas selesai solat. Hendaklah mereka mensenyapkan zikir kecuali jika imam mahu dipelajari daripadanya (mengajar bacaan-bacaan zikir tersebut), maka ketika itu dikuatkan zikir. Sehinggalah apabila didapati telah dipelajari daripadanya, maka selepas itu hendaklah dia perlahankan.
Adapun hadith Ibn ‘Abbas di atas, al-Imam al-Syafi’i menjelaskan seperti berikut:


وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلّم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم تَهليلٌ ولا تكبير، وقد يذكر أنه ذكر بعد الصلاة بما وصَفْتُ، ويذكر انصرافَه بلا ذكر، وذكرت أمُّ سلمةَ مُكْثَه ولم يذكر جهرا، وأحسبه لم يَمكُثْ إلاّ ليذكرَ ذكرا غير جهْرٍ. فإن قال قائل: ومثل ماذا؟ قلت: مثل أنه صلّى على المنبر يكون قيامُه وركوعُه عليه وتَقهْقَرَ حتى يسجدَ على الأرض، وأكثر عمره لم يصلّ عليه، ولكنه فيما أرى أحب أن يعلم من لم يكن يراه ممن بَعُد عنه كيف القيامُ والركوعُ والرفع. يُعلّمهم أن في ذلك كله سعة. وأستحبُّ أن يذكر الإمام الله شيئا في مجلسه قدر ما يَتقدم من انصرف من النساء قليلا كما قالت أم سلمة ثم يقوم وإن قام قبل ذلك أو جلس أطولَ من ذلك فلا شيء عليه، وللمأموم أن ينصرفَ إذا قضى الإمام السلامَ قبل قيام الإمام وأن يؤخر ذلك حتى ينصرف بعد انصرافِ الإمام أو معه أَحَبُّ إلي له.


Aku berpendapat baginda menguatkan suara (zikir) hanya untuk seketika untuk orang ramai mempelajarinya daripada baginda. Ini kerana kebanyakan riwayat yang telah kami tulis bersama ini[7] atau selainnya, tidak menyebut selepas salam terdapat tahlil [8] dan takbir. Kadang-kala riwayat menyebut baginda berzikir selepas solat seperti yang aku nyatakan, kadang-kala disebut baginda pergi tanpa zikir. Umm Salamah pula menyebut duduknya baginda[9] (selepas solat) tetapi tidak menyebut baginda berzikir secara kuat. Aku berpendapat baginda tidak duduk melainkan untuk berzikir secara tidak kuat.


Jika seseorang berkata: "Seperti apa?"[10]. Aku katakan, sepertimana baginda pernah bersolat di atas mimbar, yang mana baginda berdiri dan rukuk di atasnya, kemudian baginda undur ke belakang untuk sujud di atas tanah. Kebanyakan umur baginda, baginda tidak solat di atasnya (mimbar). Akan tetapi aku berpendapat baginda mahu agar sesiapa yang jauh yang tidak melihat baginda dapat mengetahui bagaimana berdiri (dalam solat), rukuk dan bangun (dari rukuk). Baginda ingin mengajar mereka keluasan dalam itu semua.


Aku suka sekiranya imam berzikir nama Allah di tempat duduknya sedikit dengan kadar yang seketika selepas kaum wanita pergi. Ini seperti apa yang Umm Salamah katakan. Kemudian imam boleh bangun. Jika dia bangun sebelum itu, atau duduk lebih lama dari itu, tidak mengapa. Makmum pula boleh pergi setelah imam selesai memberi salam, sebelum imam bangun. Jika dia lewatkan sehingga imam pergi, atau bersama imam, itu lebih aku sukai untuknya.


Nyata sekali al-Imam al-Syafi’i rahimahullah tidak menamakan ini sebagai Bid‘ah Hasanah, sebaliknya beliau berusaha agar kita semua kekal dengan bentuk asal yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya maksud Bid‘ah Mahmudah yang disebut oleh al-Imam al-Syafi’i merangkumi perkara baru dalam cara beribadah yang dianggap baik, sudah tentu beliau akan memasukkan zikir secara kuat selepas solat dalam kategori Bid‘ah Mahmudah. Dengan itu tentu beliau juga tidak akan berusaha menafikannya. Ternyata bukan itu yang dimaksudkan oleh beliau rahimahullah.[11]


Perbahasan Ucapan al-Imam ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam rahimahullah (660H)[12]


Dalam kitabnya Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam (قواعد الأحكام في مصالح الأنام) al-Imam ‘Izz Abd al-Salam rahimahullah membahagikan bid‘ah kepada lima kategori:[13]


1. Bid‘ah Wajibah (bid‘ah wajib),
2. Bid‘ah Muharramah (bid‘ah yang diharamkan),
3. Bid‘ah Mandubah (bid‘ah yang disunatkan),
4. Bid‘ah Makruhah (bid‘ah makruh) dan
5. Bid‘ah Mubahah (bid‘ah yang diharuskan).


Beliau mungkin orang yang paling awal membuat pembahagian ini. Sebenarnya faktor utama yang menyebabkan beliau menyebut bid‘ah dalam pembahagian yang sedemikian merujuk kepada ta’rif bid‘ah yang disebutnya pada awal buku tersebut yang merangkumi bid‘ah dari segi syarak dan bahasa. Buktinya beliau menyebut ta’rif bid‘ah dengan berkata:[14]


البدعة فعل ما لم يعهَدْ في عصر رسول الله


Bid‘ah adalah perbuatan yang tidak ada pada zaman Rasulullah.
Ta’rif beliau begitu luas merangkumi perkara ibadah, cara baru dalam syarak dan urusan keduniaan yang tidak membabitkan penambahan syarak. Sedangkan bid‘ah dari segi syarak hanya tertumpu dalam persoalan cara taqarrub (menghampirkan diri kepada Allah melalui ibadah) dan perubahan atau penambahan pada jalan syarak.


Faktor yang menyebabkan al-Imam ‘Izz ‘Abd al-Salam membahagikan bid‘ah kepada 5 kategori ialah kerana beliau pada asalnya menta’rifkan bid‘ah dari kedua-dua segi syarak dan bahasa.
Ta’rif yang begitu luas tersebut menyebabkan beliau membuat pembahagian ke atas maksud bid‘ah sepertimana di atas. Oleh itu kita dapati ketika menyentuh tentang Bid‘ah Wajibah (bid‘ah wajib) beliau berkata:


Bagi bid‘ah wajib itu beberapa contoh, salah satu daripadanya ialah menyibukkan diri dengan ilmu nahu yang dengannya difahami kalam Allah (firman Allah, iaitu al-Qur’an) dan kalam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (sabda Rasulullah, iaitu hadis).[15]


Berdasarkan penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullah yang telah kita kaji sebelum ini, jelas bahawa ini tidak termasuk dalam bid‘ah dari segi syarak. Marilah kita ulangi apa yang disebut oleh al-Imam al-Syatibi:


Dengan ikatan ini maka terpisahlah (tidak dinamakan bid‘ah) segala yang jelas –walaupun bagi orang biasa – rekaan yang mempunyai kaitan dengan agama seperti ilmu nahu, saraf, mufradat bahasa, Usul al-Fiqh, Usul al-Din dan segala ilmu yang berkhidmat untuk syariat. Segala ilmu ini sekalipun tiada pada zaman yang awal tetapi asas-asasnya ada dalam syarak… Justeru itu tidak wajar sama sekali dinamakan ilmu nahu dan selainnya daripada ilmu lisan, ilmu usul atau apa yang menyerupainya yang terdiri daripada ilmu-ilmu yang berkhidmat untuk syariat sebagai bid‘ah. Sesiapa yang menamakannya bid‘ah, sama ada atas dasar majaz (bahasa) seperti ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anh yang menamakan "bid‘ah" solat orang ramai pada malam-malam Ramadhan atau atas dasar kejahilan dalam membezakan sunnah dan bid‘ah, maka pendapatnya tidak boleh dikira dan dipegang.[16]


Dengan itu perbuatan sesetengah pihak mempergunakan pembahagian ini kepada bid‘ah-bid‘ah yang tidak dimaksudkan oleh al-Imam ‘Izz ‘Abd al-Salam rahimahullah adalah penyelewengan dalam menyalurkan maklumat kepada orang ramai.


Di samping itu perlu ditambah bahawa al-Imam al-Syatibi telah menolak pembahagian yang dibuat oleh al-Imam al-‘Izz ‘Abd al-Salam dengan katanya:


Sesungguhnya pembahagian ini adalah sesuatu yang hanya direka, tidak ada dalil syar‘i yang menunjukkannya. Bahkan ia sendiri saling bercanggahan. Ini kerana hakikat bid‘ah ialah sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh dalil syar‘i, sama ada daripada nas-nas syarak atau kaedah-kaedahnya. Kalau di sana ada dalil daripada syarak yang menunjukkan wajib, sunat, atau harus, maka itu bukanlah bid‘ah. Ia termasuk dalam keumuman amalan yang disuruh atau diberi pilihan. Mencampur aduk dalam menyenaraikan perkara-perkara tersebut adalah bid‘ah, iaitu mencampurkan antara perkara yang memiliki dalil yang menunjukkan kepada wajib, sunat atau harus dengan dua lagi (makruh dan haram) yang menyanggahinya.[17]


Maksud al-Imam al-Syatibi, jika ada dalil yang menunjukkan sesuatu perkara itu adalah wajib atau sunat, maka tidak wajar ia dinamakan bid‘ah. Lebih tegas lagi, al-Imam al-Syatibi menganggap pembahagian itu sendiri adalah bid‘ah.


Perbahasan Ucapan al-Imam al-Nawawi rahimahullah (676H)[18]


al-Imam al-Nawawi dalam kitabnya Tahzib al-Asma` wa al-Lughat (تهذيب الأسماء واللغات) mengulangi dan menyetujui pembahagian yang dibuat oleh al-Imam al-‘Izz ‘Abd al-Salam rahimahullah. Untuk menguatkannya, beliau menambah dalam tulisannya itu apa yang dibahagikan oleh al-Imam al-Syafi’i rahimahullah seperti disebutkan sebelum ini.[19]


Jawapan kita terhadap perkara ini sama seperti yang telah disebutkan di atas. Jika diteliti karya-karya al-Imam al-Nawawi rahimahullah, beliau tidak pernah menganggap Bid‘ah Hasanah sebagaimana yang disangka oleh orang ramai masa kini. Di sini dinyatakan beberapa contoh:


Pertama:


Di dalam kitabnya al-Azkar, al-Imam al-Nawawi rahimahullah menyebut:[20]
Ketahui sesungguhnya yang betul lagi terpilih yang menjadi amalan al-Salaf al-Salih radhiallahu 'anhum ialah diam ketika mengiringi jenazah. Jangan diangkat suara dengan bacaan, zikir dan selainnya. Hikmahnya nyata, iaitu lebih menenangkan hati dan menghimpunkan fikiran mengenai apa yang berkaitan dengan jenazah. Itulah yang dituntut dalam keadaan tersebut. Inilah cara yang betul. Jangan kamu terpengaruh dengan banyaknya orang yang menyanggahinya.


Sesungguhnya Abu ‘Ali al-Fudail bin ‘Iyad rahimahullah pernah berkata: "Berpegang dengan jalan petunjuk, jangan engkau tewas disebabkan sedikit yang melaluinya. Jauhilah jalan yang sesat. Jangan engkau terpengaruh dengan banyaknya golongan yang rosak (yang melakukannya)."
…… Adapun apa yang dilakukan oleh golongan jahil di Damsyik, iaitu melanjutkan bacaan al-Quran dan bacaan yang lain ke atas jenazah dan bercakap perkara yang tiada kaitan, ini adalah haram dengan ijma’ ulama. Sesungguhnya aku telah jelaskan dalam bab Adab al-Qiraah tentang keburukannya,besar keharamannya dan kefasikannnya bagi sesiapa yang mampu mengingkarinya tetapi tidak mengingkarinya.


Nyata bahawa al-Imam al-Nawawi rahimahullah tidak menamakan perbuatan mem-bacakan al-Qur’an ketika mengiringi jenazah sebagai Bid‘ah Hasanah. Maka perbuatan sesetengah pihak mengiringi jenazah dengan bacaan al-Fatihah setapak demi setapak sebanyak beberapa kali dibantah berdasar teks imam yang agung ini. Pun begitu ramai di kalangan mereka menamakannya Bid‘ah Hasanah.


Kedua:


Dalam Syarh Sahih Muslim,[21] al-Imam al-Nawawi rahimahullah menyebut:[22]
Sesungguhnya yang menjadi sunnah bagi salam dalam solat ialah dengan berkata: السلام عليكم ورحمة الله sebelah kanan, السلام عليكم ورحمة الله sebelah kiri. Tidak disunatkan menambah وبركاته. Sekalipun ia ada disebut dalam hadith dhaif dan diisyaratkan oleh sebahagian ulama. Namun ia adalah satu bid‘ah kerana tidak ada hadith yang sahih (yang menganjurkannya). Bahkan yang sahih dalam hadith ini[23] dan selainnya ialah meninggalkan tambahan itu.
Tidakkah penambahan "waBarakatuh" merupakan satu penambahan yang pada zahirnya nampak baik? Jika Bid‘ah Hasanah ialah melabelkan semua yang nampak baik pada andaian manusia, tentu al-Imam al-Nawawi menamakan ini sebagai Bid‘ah Mustahabbah (yang disunatkan).


Ketiga


Ketika mensyarahkan hadis berikut:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ.


Daripada Abi Hurairah radhiallahu 'anh, daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, baginda bersabda: "Jangan kamu mengkhususkan malam Jumaat dengan solat yang berbeza dengan malam-malam yang lain. Jangan kamu mengkhususkan hari Jumaat dengan puasa yang berbeza dengan hari-hari yang lain kecuali ia dalam (bilangan hari) puasa yang seseorang kamu berpuasa."[24]


al-Imam al-Nawawi rahimahullah berkata: [25]
Pada hadith ini larangan yang nyata bagi mengkhususkan malam Jumaat dengan sesuatu solat yang tiada pada malam-malam yang lain dan puasa pada siangnya seperti yang telah dinyatakan. Sepakat para ulama akan kemakruhannya. Para ulama berhujah dengan hadith ini mengenai kesalahan solat bid‘ah yang dinamakan Solat al-Raghaib[26]. Semoga Allah memusnahkan pemalsu dan pereka solat ini. Ini kerana sesungguhnya ia adalah bid‘ah yang munkar daripada jenis bid‘ah yang sesat dan jahil. Padanya kemunkaran yang nyata. Sesungguhnya sejumlah para ulama telah mengarang karangan yang berharga sebegitu banyak dalam memburukkannya dan menghukum sesat orang menunaikan solat tersebut dan perekanya. Para ulama telah menyebut dalil-dalil keburukannya, kebatilannya dan kesesatan pembuatnya.


Perhatikan bahawa al-Imam al-Nawawi rahimahullah tidak menamakan solat sunat yang tidak wujud dalam hadith sebagai Bid‘ah Hasanah. Bahkan beliau menghukum sebagai sesat. Ketika ditanya mengenai solat ini (Solat al-Raghaib), al-Imam al-Nawawi pernah berkata:
Bid‘ah yang buruk lagi sangat munkar… jangan terpengaruh dengan ramai yang melakukannya di banyak negeri. Juga jangan terpengaruh disebabkan ia disebut dalam Qut al-Qulub dan Ihya ‘Ulum al-Din.[27]


Keempat


Dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (المجموع شرح المهذب), al-Imam al-Nawawi rahimahullah menyetujui tokoh-tokoh mazhab al-Syafi’i yang membantah jamuan atau kenduri sempena kematian. Katanya:[28]
"Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si mati dan menghimpunkan orang ramai kepadanya adalah tidak diriwayatkan daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedikit pun. Ia adalah bid‘ah yang tidak disukai."
al-Imam al-Nawawi tidak menamakan amalan penyediaan makanan oleh keluarga si mati dan menghimpunkan orang ramai padanya sebagai satu Bid‘ah Hasanah. Bahkan kitab-kitab mazhab al-Syafi’i begitu kuat menentang hal ini.[29]


Perbahasan Ucapan al-Imam al-Sayuti rahimahullah (911H)[30]


al-Imam al-Sayuti (السيوطي) telah menulis kitab khas berhubung dengan bid‘ah yang berjudul al-Amr bi al-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida’ (الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع) Di dalamnya beliau menyebut maksud Bid‘ah Hasanah, katanya:
Bid‘ah Hasanah disepakati keharusan membuatnya. Juga disunatkan demi mengharapkan pahala bagi sesiapa yang baik niatnya. Iaitu setiap pembuatan bid‘ah yang bertepatan dengan kaidah-kaidah syarak tanpa menyanggahinya sedikit pun. Perbuatannya tidak menyebabkan larangan syarak. Ini seperti membina mimbar, benteng pertahanan, sekolah, rumah (singgahan) musafir dan sebagainya yang terdiri dari jenis-jenis kebaikan yang tidak ada pada zaman awal Islam. Ini kerana ia bertepatan dengan apa yang dibawa oleh syariat yang memerintahkan membuat yang ma’ruf, tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa.[31]


Seperti yang telah dinyatakan sebelum ini, apa yang disebut di atas tidak sepatutnya dinamakan bid‘ah sama sekali. Bahkan ia termasuk dalam perkara-perkara yang disuruh dalam agama. Namun persoalan yang lebih penting adalah, apakah al-Imam al-Sayuti rahimahullah akan menganggap sesetengah perbuatan yang dianggap Bid‘ah Hasanah pada hari ini sebagai satu Bid‘ah Hasanah? Untuk memastikan hal ini marilah kita lihat beberapa contoh:


Pertama:
Sebagaimana al-Imam al-Nawawi dan lain-lain tokoh, al-Imam al-Sayuti turut menolak solat sunat Raghaib. Beliau berkata:[32]


Ketahuilah olehmu, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya membesarkan hari tersebut dan malamnya (hari dan malam Jumaat pertama bulan Rejab) hanya perkara baru yang dibuat dalam Islam selepas 400 tahun. Diriwayatkan mengenainya hadith yang palsu dengan sepakat ulama yang mengandungi kelebihan berpuasa pada siangnya dan bersolat pada malamnya. Mereka menamakan solat Raghaib … Ketahuilah sesungguhnya solat yang bid‘ah ini menyanggahi kaedah-kaedah Islam dalam beberapa bentuk.


Perhatikan bahawa al-Imam al-Sayuti rahimahullah tidak menamakan solat ini sebagai Bid‘ah Hasanah sekalipun ia disebut dalam beberapa kitab seperti Ihya ‘Ulum al-Din. Jika setiap yang dianggap baik dilabelkan sebagai Bid‘ah Hasanah maka solat ini juga patut dianggap Bid‘ah Hasanah. Namun mengada-adakan perkara baru dalam cara ibadah bukanlah Bid‘ah Hasanah.


Kedua:
Berkata al-Imam al-Sayuti rahimahullah ketika membantah amalan Nisfu Sya’ban:[33]
Apa yang memuliakan bulan Sya’ban ialah amalan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada kebanyakan harinya. Hadith-hadith Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan athar para sahabat yang diriwayatkan menunjukkan ia malam yang ada kelebihan, (namun) tiada padanya solat yang khusus.
Jelas bahawa solat sunat khusus bersempena Nisfu Sya’ban tidak dianggap oleh al-Imam al-Sayuti sebagai Bid‘ah Hasanah.


Ketiga
Berkata al-Imam al-Sayuti rahimahullah berkenaan melafazkan niat sebelum solat:[34]
… Daripada bid‘ah (yang saiyyah) itu adalah, was-was dalam niat solat. Itu bukan daripada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat baginda. Mereka tidak pernah melafaz sedikit pun niat solat melainkan hanya (terus) takbir. Allah telah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ


"Sesungguhnya bagi kamu pada Rasulullah itu contoh yang baik." [al-Ahzab 33:21]
Walaupun sesetengah pihak ada yang berpendapat menyebut lafaz niat dalam solat sebagai Bid‘ah Hasanah, namun tokoh mazhab al-Syafi’i yang terkenal ini tidak menganggapnya sedemikian. Ini kerana ia adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mahupun para sahabat baginda.


Kesimpulan Perbincangan


Perbincangan kita di atas secara jelas menunjukkan telah berlaku salah faham di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan para penceramah dan agamawan, terhadap istilah Bid‘ah Hasanah yang digunakan oleh para tokoh mazhab al-Syafi’i rahimahumullah. Apa yang dimaksudkan oleh para tokoh tersebut adalah jauh berbeza. Oleh itu adalah wajar untuk merujuk semula kepada apa yang ditulis oleh tokoh-tokoh ini.

foot note



[1] Diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Tirmizi, berkata al-Tirmizi: “Hadis ini hasan sahih”. Juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Darimi dalam kitab Sunan mereka. Demikian juga oleh Ibn Hibban dalam Shahihnya dan al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan menyatakan: “Hadith ini sahih”. Ini dipersetujui oleh al-Imam al-Zahabi (Tahqiq al-Mustadrak, jld. 1, m.s. 288).
[2] al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 35.
[3] Beliau ialah Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas al-Qurasyi. Lahir di Ghazzah, Palestin pada tahun 150H. Kata al-Imam Ahmad bin Hanbal: “Sesungguhnya Allah melimpahkan untuk manusia pada setiap permulaan seratus tahun orang yang mengajar mereka sunnah dan menafikan pembohongan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kami dapati pada seratus pertama ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz dan pada seratus kedua al-Syafi'i.” (al-Sayuti, Tabaqat al-Huffaz, jld. 1, m.s. 157)
[4] Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (جامع العلوم والحكم), jld. 2, m.s. 52.
[5] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, jld. 15, m.s. 179.
[6] al-Syafi'i, Mausu‘at al-Imam al-Syafi'i: al-Umm (موسوعة الإمام الشافعي), jld. 1, m.s. 353.
[7] Maksud al-Imam al-Syafi'i ialah apa yang beliau tulis dalam al-Umm tersebut dalam bab Kalam al-Imam wa Julusihi Ba’d al-Salam (كلام الإمام وجلوسه بعد السلام) yang mana beliau telah mengemukakan beberapa hadith yang menunjukkan baginda tidak menguatkan suara ketika zikir selepas solat.
[8] Tahlil maksudnya ialah ucapan: لا إله إلا الله.
[9] Maksud al-Imam al-Syafi'i ialah hadith riwayat Umm Salamah yang beliau sebutkan pada awal bab berkenaan:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من صلاته قام النساء حين يقضي تسليمه ومكث النبي صلى الله عليه وسلم في مكانه يسيرا قال ابن شهاب فنرى مكثه ذلك والله أعلم لكي ينفذ النساء قبل أن يدركهن من انصرف من القوم
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memberi salam dari solat maka kaum wanita akan bangun apabila baginda selesai memberi salam. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pula duduk sekejap ditempatnya selepas solat. Kata Ibn Syihab: Kami berpendapat – Allah lebih mengetahui – tujuannya agar kaum wanita dapat pergi sebelum kaum lelaki keluar. Hadith ini turut diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, al-Nasai, Abu Daud, Ibn Majah dan lain-lain.
[10] Maksudnya, apakah contoh perkara yang pernah baginda lakukan hanya seketika kemudian setelah orang ramai mempelajarinya baginda tinggalkan. al-Imam al-Syafi'i menyebut contoh ini untuk menyokong pendapat beliau bahawa zikir selepas solat secara kuat hanya dilakukan oleh baginda pada seketika sahaja, kemudian zikir baginda berzikir secara perlahan.
[11] Oleh itu perlu dibetulkan salah faham sesetengah pihak yang mendakwa sesiapa yang tidak berzikir secara kuat selepas solat ialah orang-orang yang tidak mengikut Mazhab al-Syafi’i. Ternyata bahawa dakwaan mereka adalah salah, bahkan menunjukkan pihak yang mendakwa itu tidak meneliti kitab al-Imam al-Syafi'i.
[12] Beliau lahir pada 577H atau 578H, bermazhab al-Syafi'i. Seorang tokoh ulama yang masyhur, pernah menjadi khatib masjid Damsyik dan pernah memegang jawatan ketua hakim Mesir. (Abu Taiyyib, Zail al-Taqyid, jld. 2, m.s. 128).
[13] ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam, Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, jld. 2, m.s. 133.
[14] Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, jld. 2, m.s. 133.
[15] Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, jld. 2, m.s. 133.
[16] al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 27-28. (nukilan berpisah)
[17] al-I’tishom, m.s. 145-146.
[18] al-Imam al-Nawawi ialah seorang tokoh besar mazhab al-Syafi’i. Namanya Yahya bin Syaraf, lahir pada 631H. Menulis pelbagai karangan yang bermanfaat. Antara yang lazim dijadikan buku pengajian di majlis-majlis tempatan ialah Hadis 40 Imam Nawawi dan Riyadus Salihin. (al-Sayuti, Tabaqat al-Huffaz, jld. 1, m.s. 513)
[19] al-Nawawi, Tahzib al-Asma` wa al-Lughat, jld. 3, m.s. 21.
[20] al-Nawawi, al-Azkar, m.s. 225-226. (nukilan berpisah)
[21]. Namun ia lebih dikenali dengan nama ringkas: شرح صحيح مسلم.
[22] al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jld. 1, m.s. 115.
[23] Maksudnya hadith dalam Shahih Muslim yang tidak menyebut penambahan itu.
[24] Rujuk Shahih Muslim – hadith no: 1144 (Kitab Puasa, Bab tegahan berpuasa hanya pada hari Jumaat).
[25] al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jld. 3, m.s. 211.
[26] Iaitu solat yang dilakukan pada malam Jumaat pertama bulan Rejab. Sedih sekali amalan dan hadith palsu ini digalakkan dan disebut di dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. al-Hafizd Zain al-Din al-‘Iraqi rahimahullah (806H) ketika mentakhrij kitab al-Ihya telah memberitahu kepalsuan hadith ini. (Ihya ‘Ulum al-Din bersama takhrij al-Hafizd al-‘Iraqi, jld. 1, m.s. 268). Semoga Allah mengampuni kita dan al-Imam al-Ghazali rahimahullah (505H). Kita bersangka baik kepadanya dengan menganggap beliau tidak mengetahui hadith ini palsu. Ini kerana beliau bukan ahli dalam bidang hadith seperti yang dinyatakan oleh tokoh-tokoh hadith yang lain.
[27] Nukilan berpisah daripada buku ‘Ali Hasan ‘Ali, Kitab al-Ihya ‘Ulum al-Din fi al-Mizan, m.s. 21.
[28] al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, jld. 5, m.s. 320.
[29] Antaranya Ibn Naqib dalam Anwar al-Masalik (أنوار المسالك) menyebut: “Apa yang dilakukan oleh keluarga si mati dengan menyediakan makanan dan menghimpunkan manusia kepadanya (makanan) adalah bid‘ah”. (m.s. 182).
[30] Beliau imam yang masyhur, ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Misri. Bermazhab al-Syafi'i. Lahir pada 849H. Membesar di Kaherah. Pakar dalam berbagai ilmu. Pada umurnya 40 tahun, beliau mengasingkan diri dan menulis berbagai karya. (‘Umar Kahalah (كحالة), Mu’jam al-Muallifin (معجم المؤلفين), jld. 2, m.s. 82).
[31] al-Sayuti, al-Amr bi al-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida’, m.s. 25.
[32] al-Amr bi al-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida’, m.s. 52 & 54 (nukilan berpisah)
[33] al-Amr bi al-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida’, m.s. 57.
[34] al-Amr bi al-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida’, m.s. 100.

bersambung

[+/-] Selengkapnya...