Tuesday, January 20, 2009

Sketsa Mutiara Cinta...

Ku persembahkan sketsa cinta ini sebagai tanda cinta kasihku Untukmu zaujahku Yang mengisi sudut-sudut hatiku,Yang Telah memberi permata kehidupan untuk ku..
Ketahuilah duhai isteriku.. aku mencintaimu.. dan ingin terus bersamamu
Samaada didunia maupun di syurga nantinya.. insya allah ..

Bismillah….
Ya Rabbi.. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang…
Berikanlah kedalam hatiku rasa cinta yang mendalam terhadap isteriku
Yang dengan namamu kubina rumah tanggaku..untuk mencari ridhomu..


Ya Rabbi.. Yang Maha Mengetahui segala isi hati
Tidak ada satupun yang tersembunyi dari penglihatanmu..
Engkau maha mengetahui segala isi hatiku..

Engkau menjadi saksi bagaimana rasa cinta yang ada didalam hatiku kepada isteriku..
Pertengkaran itu mungkin menjadi satu asam garam dalam kehidupan rumah tangga
Berikanlah kesabaran kepadaku.. dan ajarkanlah aku, agar tutur kataku ketika marah
Tidak menyakiti hatinya….

Duhai zaujahku.. dengarkanlah bisikan hatiku .. fahamilah sketsa cintaku ini untukmu..
Ingatkah dirimu ketika kita menikah dahulu ??? ketika aku mengambil dirimu menjadi permata kehidupanku ....

Titisan air mata yang membasahi pipiku menjadi saksi setelah aku mengambil dirimu atas nama allah… saat itu aku merasa telah melengkapkan bahagian dari agamaku ..
Namun… diriku hanyalah seorang insan.. yang tidak lepas dari segala kesilapan..
Maafkan diriku.. dengan segala kesalahan ataupun ucapan –ucapan yang menyakiti hatimu…
Jauh di relung hatiku.. aku sedar.. betapa aku belum mampu berikan kehidupan yang terbaik untukmu..

Untukmu zaujahku.. yang amat kusayangi dan kucintai....
Berikan aku waktu.. berikan aku kesempatan...
Untuk menjadi suami yang terbaik dalam kehidupanmu ...
Ketika suamimu ini terjatuh dalam gelap... bantulah aku.. tolong lah aku ..
Bisikan kata-kata cintamu untukku... agar aku mampu untuk terus berjalan..
Duhai zaujahku... aku mencintaimu dengan segala kekurangan diriku ...
Maafkan diriku.. jika kasih sayang yang kuberikan masih jauh dari kesempurnaan...

Duhai zaujahku.. yang menjadi inspirasi kehidupanku ..
Aku mencintaimu.. dan tidak akan pernah berhenti untuk terus mencintaimu..
Selagi nafasku belum terhenti...
Duhai zaujahku... segala pengorbanan dirimu tidak akan dapat aku balas dengan apapun..
Aku bersyukur dapat mencintaimu.. dan hidup bersamamu...

Allahumma...
berikanlah kami rasa cinta yang berkekalan..
Rasa cinta yang membawa bahagia..
Rasa cinta yang membawa ketenangan...
Rasa cinta yang membawa kami berdua masuk kesurgamu..
Rasa cinta yang denganya kami beribadah kepada-Mu...
Duhai zaujahku... uhibbuki ilaa akhir hayati ....

[+/-] Selengkapnya...

Sunday, January 18, 2009

WAJAH KANAK-KANAK YANG TERKORBAN DI GAZA

[+/-] Selengkapnya...

Siaran Ringkas TV3

[+/-] Selengkapnya...

Saturday, January 17, 2009

Hijrahnya Seorang Muslimah Ke Manhaj Salaf II

Sedikit yang ingin ditambahkan berkenaan dengan peranan murobbi dalam harokah ikhwani….Peran murobbi dirasakan sangat besar, pada tingkatan tertentu murobbi harus di patuhi seperti halnya mematuhi orang tua…bahkan terkadang lebih….
Murobbi memang di harapkan sebagai pendidik…. akan tetapi terkadang menjadi pendidik yang melarang hal hal yang secara syariat di bolehkan …..
Kepatuhan seorang mad’u dan ketakutan mereka terhadap murobbi di rasakan sangat berlebihan.. karena akan ada sangsi boikot, hukuman dan di interogasi bila ada hal hal yang tidak bersesuaian dengan instruksi murobbi…ini menimbulkan punca taqlid dan fanatisme yang berlebihan…[4] Pada suatu kesempatan ada seorang ukhti yang menceritakan bahwa orang yang dibawah asuhannya mengaji di tempat yang lain….Saat itu murobbi mengatakan bahwa dia harus memilih [tidak boleh mengaji di keduanya]. Padahal setiap muslim adalah pribadi yang bebas untuk thollabul ilmy (menuntut ilmu, ed) selama dia yakin bahwa yang diajarkan adalah yang benar. Seorang murobbi seharusnya dapat memberikan penjelasan ilmiah untuk menghalangi mad’u nya mengikuti majelis ilmu yang lain kalau majelis ilmu tersebut memang terbukti terkeluar dari jalan yang benar….

Berdasarkan share pengalaman yang Rytha baca.. murobbi merasa tidak senang bila mengetahui mad’u nya ikut kajian kajian bermanhaj salaf… Alasannya karena bisa membuat bingung bila mengaji di banyak tempat, Rasanya suatu alasan yang kurang tepat…. …
insyaAllah nanti akan di berikan contoh bagaimana seorang murobbi "berhak" menentukan calon pengantin anak didiknya.

InshaAllah Rytha akan berpindah ke poin kedua tentang beberapa hal yang ditemukan dalam kegiatan "tarbiyah" ikhwani …..

2. Rangkaian kegiatan di dalam liqo.

Acara liqo’ dari tempat ke tempat biasanya typical karena Rytha sudah beberapa kali berpindah kelompok liqo… Kemungkinan sebagian besar dari mereka menganggap rutinitas itu adalah satu rutinitas yang ada tuntunan syar’i nya, setidaknya menganggap itu suatu kebaikan…..

Waktu Liqo di jadwalkan biasanya tidak lebih dari 2 jam. Tapi dalam prakteknya biasanya bisa seharian….. Tetapi ilmu yang didapat tidak sebanding dengan waktu yang sudah terbuang… Terkadang suami suami yang menunggu istrinya liqo sampai marah kerana menunggu kelamaan….

Para ikhwan [bapak-bapak] biasanya mengadakan liqo pada waktu malam sampai menjelang tengah malam..…. Seorang murobbi sempat berpesan kepada binaannya…nanti kalau menikah dengan suami yang aktivis, harus siap di tinggal di malam hari….

Mungkin tidak salah pulang larut kalau memang benar-benar untuk tholabul ilmy.. Tapi liqo mereka "para petinggi petinggi" konon isinya hanya banyak membicarakan masalah politik, da’wah dan strategi….. Alangkah ruginya bila sudah menghabiskan waktu tanpa mendapatkan charge ruhiyah keilmuan yang di dapat… Hampir di pastikan sholat lail juga akan terlewat… Ditambah lagi rasa bersalah terhadap istri dan anak dan dosa di hadapan Allah subhanahu wata’ala meninggalkan istri sendiri di rumah…. Acara liqo biasanya dibuka dengan pembacaaan Al-Qur’an. Bukan hanya acara liqo saja tapi hampir semua kegiatan selalu di buka dengan bacaaan Al-Qur’an….

Membaca Al Qur’an memang merupakan suatu kebaikan… tapi menjadikannya sebagai rutinitas yang selalu di lakukan sebagai pembuka untuk semua kegiatan memerlukan tinjauan syar’i, karena bila di biarkan masyarakat awam akan mencontohnya. Mencontoh sesuatu yang tidak memiliki dasar, akan cendrung membuat mereka menganggap hal tersebut bagian dari sunnah…. Bahkan Rytha yakin sebagian dari saudara ikhwani

mereka merasa seakan ada hal sunnah yang hilang bila hadir dalam suatu majelis dan tidak di awali dengan bacaaan Al Qur’an….wallahualam….
Selanjutnya acara akan dilanjutkan oleh kultum, dari salah seorang anggota dan dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh murobbi…
Materi yang di sampaikan oleh murobbi biasanya diawali dengan membicarakan pengumuman-pengumuman mengenai kegiatan kepartain, kepanitian, dan lain lain, sehingga waktu yang tersisa untuk menyampaikan materi keagamaan hanya beberapa menit saja… Terkadang yang beberapa menit itu pun sama sekali tidak berisi apa apa… Semakin tinggi tingkatan kita semakin banyak masalah kepartaian yang di bicarakan dalam majelis….

Terkadang liqo di-isi dengan bedah buku atau materi-materi umum lainnya…Banyak acara yang diusahakan bervariasi untuk menarik. Untuk para pemula biasanya masih di berikan materi-materi yang cukup baik seperti tauhid…. Hanya saja jangan ditanyakan bagaimana materi penting tersebut disampaikan….jauh sangat jauh sekali dari ilmiah… Materi – materi ini berkesan hanya seperti selingan sampai seorang mad’u siap di berikan materi ke-harokah-an yang brainwash paham-paham ikhwanul muslimin….

Sangat jauh majelis di-isi dengan pembahasan yang ilmiah …. Kebanyakan menjelaskan sesuatu yang di kaitkan dengan cerita kehidupan sehari hari…. Setiap murobbi pasti biasanya berusaha mencari "cerita" dan penjelasan "logika" untuk melengkapi uraiannya… [5]

Bagi para thollabul ilmy yang sesungguhnya pasti sangat rindu dengan majelis yang berisi perkataan Allah … perkataan Rasulullah dan perkataan para Ulama Ahlul sunnah. Hal ini mungkin karena minimnya kapasitas keilmuan dari murobbi sendiri yang mungkin tidak siap dengan materi yang akan disampaikan.

Rytha sempat berkunjung ke beberapa rekan ikhwani… Karena ketertarikan yang sangat terhadap buku, koleksi-koleksi buku tuan rumah selalu menjadi pengamatan….. Rytha sempat terkejut melihat seorang ustadz yang lulusan salah satu universitas syariah terkemuka koleksi-koleksi beliau adalah buku-buku pergerakan ikhwanul muslimin… Ini tidak mengherankan bila rekan-rekan ikhwahni yang lainnya juga mengkoleksi tulisan tulisan hasan Al Banna… Said Hawa dan kalaupun tafsir itu adalah tafser Said Qutb, fatwa fatwa nya adalah fatwa Yusuf Qardhawi….

Ada suatu paham yang Rytha tangkap selama liqo adalah bahwa hadis dhaif (lemah, ed) boleh diamalkan [6]…. Dan juga suatu pemahaman da’wah dengan hikmah yang aneh….

Yang berdalih dengan fikih prioritas [ala Yusuf Qardhawi] dalam segala hal yang membuat menjadi toleran yang berlebihan… Dan tentu saja sangat tidak cocok dengan ikhwah salafy yang berkesan sangat keras bagi mereka, karena kebanyakan ikhwani tidak paham bahwa dalam hal aqidah seorang muslim harus memiliki rasa cemburu yang tinggi bila ada ke-bid’ahan dan ke-syirikan.

Seorang ukhti mengatakan bahwa banyak penyimpangan dalam salafy.. mereka tidak mengenal fikih prioritas… dan sedikit sedikit bid’atul dholalah…(bid’ah itu sesat, ed) Karena dalam pembahasan materi bid’ah [7] di ikhwani, ditanamkan bahwa ada yang namanya bid’ah hasannah [ bid’ah yang baik]…[8 ]

Rytha sempat tertegun sedih tatkala ukhti tersebut mengatakan sedikit-sedikit salafy menda’wahkan bid’atun dholalah….ukhti tersebut mengatakan dengan nada yang sedikit mengejek… Seandainya ukhti tersebut paham bahwa kalimat yang di ejeknya itu bukanlah perkataan sembarangan orang tapi itu adalah perkataan dari lisan seorang hamba Allah yang sangat mulia Rasulullah shalallahu wa`alahi wassalam…. Mudah mudahan Allah membukakan dan membimbing ukhti tersebut….

Dalam suatu dauroh murobbi… seorang pembicara mengatakan bahwah beliau mengetes tauhid mad’u nya dengan di suruh mengambil sesuatu di kuburan… kalau dia masih takut berarti tauhidnya masih di pertanyakan… Subhanallah.. apakah cara ini pernah di praktekkan oleh Rasulullah shalallahu wa`alahi wassalam dan para sahabatnya?

Selanjutnya ada salah satu kebiasaan di majelis, yaitu acara evaluasi ….yang di maksudkan untuk mengevaluasi masing masing mad’u, ibadahnya, aktivitasnya dan lain lain. Seorang mad’u diharapkan membuka diri terhadap semua peserta liqo dan bercerita mengenai dirinya, keluarganya dan temannya..

Tidak jarang dan hampir pasti cerita yang di sampaikan membuka aib diri dan keluarga… suatu aib yang seharusnya di tutupi….
Ikhwah fillah… ingat kisah seorang sahabat yang mengadukan pada beliau bahwa dia berizina.. dan Rasulullah shalallahu wa`alahi wasalam berusaha untuk tidak melihat dan pura pura tidak mendengarnya… Ini menggambarkan … Rasulullah shalallahu wa`alahi wassalam lebih senang bila seseorang yang berdosa dia menyimpan dosanya dan bertobat pada Allah dengan bersungguh sungguh … tidak ada kewajiban baginya untuk membagi aib dirinya…apalagi aib saudara dan keluarganya…. Wallahualam…

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu diriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu wa`alahi wassalam bersabda. :

"Allah nanti akan mendekatkan orang mukmin, lalu meletakkan tutup dan menutupnya. Allah bertanya : "Apakah kamu tahu dosamu itu ?" Ia menjawab, "Ya Rabbku". Ketika ia sudah mengakui dosa-dosanya dan melihat dirinya telah binasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, "Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia dan sekarang Aku mengampuninya". Kemudian diberikan kepada orang mukmin itu buku amal baiknya. Adapun orang-orang Kafir dan orang-orang munafik, Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggilnya di hadapan orang banyak. Mereka orang-orang yang mendustakan Rabbnya. Ketahuilah, laknat Allah itu untuk orang-orang yang zhalim" [Hadits Riwayat Bukhari Muslim]

Subhanallah… Allah telah menutupi dosa dosa hambanya… dan mengapa kita sebagai hambanya membuka dosa dosa kita sendiri…. Ada banyak cara untuk menasehati orang lain untuk berbagi pengalaman hidup tapi tidak harus membuka dosa dosa yang Allah telah tutupi… wallahualam….
Selama majelis berjalan… ada daftar hadir yang harus di isi yang juga berisi catatan amalan harian selama seminggu. Setiap perserta harus mengisinya dengan maksud untuk mengevaluasi setiap mad’u … untuk saling memotivasi bila ada catatan amal yang jelek… Sungguh ini juga rasanya tidak wajar..karena seharusnya seorang muslim harus tawadhu dan berhak menyembunyikan amal sholehnya…..

Satu kebid’ahan yang pasti selalu di lakukan adalah pada saat menutup majelis. Majelis harus ditutup dengan do’a robitoh….

Rytha sempat menanyakan kepada sebagian dari mereka, ternyata sebagian besar dari tidak mengetahui bahwa do’a robithoh itu bukan berasal dari hadist Nabi shallahu’alaihi wa sallam melainkan hanyalah do’a karangan Hasan Al Banna… Awalnya Rytha sendiri tidak menyadari hal tersebut juga… astaghfirullah…

Ada satu buku dzikir yang di baca oleh semua pengikut tarbiyah yang di sebut dengan Al Ma’surat…. Syaikh Ihsan bin Ayisy al-Utaibi rahimahullahu berkata: "Di akhir al-Ma'tsurot terdapat wirid robithoh, ini adalah bid'ah shufiyyah yang diambil oleh Hasan al-Banna dari tarikatnya, Hashshofiyyah." .(Kitab TarbiyatuI Aulad fil Islam Ii Abdulloh Ulwan fi Mizani Naqd Ilmi hal. 126)

Mereka sangat khusuk sekali sewaktu membacanya dan membacanya secara rutin selepas majelis… Tidak hanya dalam liqo saja… tapi juga pada tabligh akbar.. dauroh dauroh… Rytha pikir do’a ini dibacakan di majelis karena murobbinya belum paham.. tapi pada saat do’a itu kerap di bacakan oleh kalangan para "ustadz" ini menjadi sesuatu yang aneh sekali… Ditambah lagi dengan pembacaaannya yang sangat didramatisir dan diiringi dengan tangisan tangisan…. Astaghfirullah…..

Ada suatu cerita dari mulut kemulut yang menyebar… bahwa do’a itu di yakini bisa mengikat hati.. Ceritanya dulu ada seorang anggota liqo yang mau keluar dari jama’ah … selanjutnya
mereka mendo’akan ukhti tersebut dengan do’a robitoh ini…dan ukhti itu kebetulan tidak jadi keluar……. Jadilah dianggap do’a robithoh ini sangat berkesan...

Do’a ini merupakan do’a kebanggaan yang katanya akan dibaca di mana mana.. walaupun Anti (kamu untuk perempuan, ed) pergi ke luar negeri dan liqo di sana.. Anti pasti akan menemukan robithoh … astaghfirullah…

Bila do’a ini akan dibacakan terlebih dahulu membayangkan orang orang yang kita cintai , orang orang yang tidak kita kenal, akan lebih manjur khasiat nya… bisa menguatkan ikatan hati… na’uzubillah… ini sangat mirip dengan praktek praktek sufi…

Beginilah kalau praktek agama di dasarkan pada sharing pengalaman….. para mad’u yang juga nantinya menjadi murobbi menjadi penyalur yang cepat berkembangnya cerita ke bid’ahan yang sama yang mereka dengar dari murobbi murobbi mereka…. Ikhwah sekalian, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata:

"Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do'a termasuk di antara ibadah-ibadah yang paling afdhol (utama), dan ibadah dilandaskan alas tauqif dan ittiba', bukan atas hawa nafsu dan ibtida (membuat hal yang baru, ed) Maka do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi shalallahu wa`alahi wassalam adalah yang paling utama untuk diamalkan oleh seorang yang hendak berdzikir dan berdo'a. Orang yang mengamalkan do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam adalah orang yang berada di jalan yang aman dan selamat.

Faedah dari hasil yang didapatkan dari mengamalkan do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam begitu banyak sehingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Adapun dzikir-dzikir dari selain Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam , kadang-kadang diharomkan, kadang-kadang makruh, dan kadang-kadang di dalamnya terdapat kesyirikan yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya.

Tidak diperkenankan bagi seorang pun membuat bagi manusia dzikir-dzikir dan do'a-do'a yang tidak disunnahkan, serta menjadikan dzikir-dzikir tersebut sebagi ibadah rutin seperti sholat lima waktu, bahkan ini termasuk agama bid'ah yang tidak diizinkan oleh Allah. Adapun menjadikan wirid yang tidak syar'i maka ini adalah hal yang terlarang, bersamaan dengan ini dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar'i sudah memenuhi puncak dan akhir dari tujuan yang mulia, tidak ada seorang pun yang berpaling dari dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar'i menuju kepada dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang bid'ah melainkan (dialah) seorang yang jahil atau sembrono atau melampaui batas." [Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Majmu' Fatawa 22/510-511]

Mudah mudahan ini dapat membuat para ikhwah di tarbiyah dan kita semua umumnya untuk lebih berhati hati….banyak sekali praktek dzikir dzikir bid’ah dan praktek praktek ibadah yang tidak ada tuntunan syar’inya….

Afwan bila ada kata kata yang tidak berkenan…

Agar lebih paham… silahkan baca link link di footnote , dan telusuri website website tersebut.. insyaAllah kalau ikhwah sekalian ikhlas.. itu akan menghantarkan kepada kebenaran… Wallahualam bishshowab

InsyaAllah bersambung
foot note :
------------------------------------------------------------------------------------
6.Bolehkah Hadits Dhaif Diamalkan Dan Dipakai Untuk Fadhaailul A'maal [Keutamaan Amal] ? http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1315&bagian=0 ; Pendapat Beberapa Ulama Tentang Hadits-Hadits Dha'if Untuk Fadhaailul A'maal
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1333&bagian=0
7.Wajib Menjelaskan Hadits-Hadits Dha'if Kepada Umat Islam, http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1359&bagian=0
8.Adakah Bid'ah Hasanah?
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=127 Bid'ahnya Dzikir Berjamaah, http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=157


[+/-] Selengkapnya...

Friday, January 2, 2009

Catatan Perjalanan Dari Medan

assalammu`alaikum ... rasanya dah terlalu lama tidak menulis di blog ini dikeranakan kesibukan2 dan juga urusan balik kampung membuat saya terhenti seketika untuk menulis , sebelum saya menyambung tulisan tentang kisah hijrah nya seorang akhwat ke manhaj salaf, saya ingin bercerita tentang suasana yang saya lihat ketika saya balik kampung ke medan (dah hampir 3 tahun tak balik ke medan) rasanya tak banyak yang berubah , keadaan masih sama .. disana - sini urusan birokrasi masih banyak tercemar dengan rasuah makanya SUMUT itu terkenal dengan makna (Segala Urusan Memakai Uang Tunai ) dan ketika saya membaca surat khabar, gubernur sumatera utara syamsul ariffin sempat di tanya soalan ini, apakah anda mampu untuk membersihkan arti negatif dari perkataan Sumut , beliau hanya menjawab insya allah , dan biarlah kita berikan kesempatan kepadanya untuk membersihkan sumut dari unsur2 yang negatif , insya allah
kebetulan ketika saya balik ke medan suasana dijalanan yang saya lihat di penuhi dengan bendera2 parti yang sedang berkempen untuk memilih wakil2 rakyat samada untuk negeri atau parlimen, dan untuk anda pengetahuan anda, pilihan raya tahun 2009 kali ini di indonesia di sertai oleh 44 parti yang mengirim wakilnya masing2 untuk bertanding pilihan raya.
terbayang di benak saya, bagaimana banyaknya para calon yang akan bertanding dalam pilihan raya kali ini , dan berapa besar kertas undian nya dengan calon2 yang sedia ada bertanding ?? apakah ini arti demokrasi yang di raih hasil perjuangan reformasi di indonesia ?? kali ini saya tidak akan membahas permasalahan ini.. begitu banyak pertanyaan2 yang ada di dalam benak saya , belum lagi jika saya lihat di dalam parti2 yang bertanding tersebut ada yang mendakwa mereka memperjuangkan islam , dan ianya bukan satu parti tapi banyak parti, masingg2 mereka berusaha menunjukkan mereka memperjuangkan agama islam di dalam demokrasi pilihan raya ini , kalau iya pun memperjuangkan islam , mengapa mereka tidak satukan saja parti nya ? dan berjuang bersama ... tapi ya tentu saja itu semua hanya penyedap rasa (baca: ajinomoto) untuk meraih undi rakyat yang indonesia yang mayoriti nya beragama islam , dan pada hakikat nya masing2 dari parti yang mengatasnama kan islam ini mempunyai kenginan dan tujuan yang berbeza ... walau mereka masing2 berkata mereka memperjuangkan agama islam .. innalillahi wainna ilahi rajiu`n
dan inilah bendera2 dari beberapa parti yang mengikuti pilihan raya tahun 2009





















































































[+/-] Selengkapnya...

Thursday, December 18, 2008

Hijrahnya Seorang Muslimah Ke Manhaj Salaf

Sebuah Catatan Blog Perjalanan Seorang Muslimah dari Manhaj Tarbiyah ke Manhaj Salaf"

catatan ini merupakan catatan pribadi yang di berikan keizinan oleh penulisnya untuk mempublikasikan kepada umum , supaya apa yang dirasakan oleh nya dapat di kongsi bersama bagi sesiapa saja yang masih lagi tersangkut dengan manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj salaf , mengingat panjang nya catatan ini saya akan bagi menjadi beberapa bahagian , dan catatan ini juga saya edit tanpa mengurangi maksud asal dari si penulis ... semoga catatan ini bermanfaat kepada kita semua, dan kepada si penulis, saya ucapkan .. barakallahi fiik , tetaplah istiqomah di dalam menempuh manhaj salaf , manhaj yang tidak ada lagi keraguan di dalam nya , manhaj yang penuh dengan hujjah dan di atas nya lah kita berdiri untuk menebas segala macam khurafat dan bid`ah harakiyun ... allahu musta`an ..

Seorang ikhwan menanyakan lewat email mengapa Rytha hijrah….karena sesuatu hal email tersebut tidak sempat terbalas….
Mungkin dengan sharing di sini bisa memberikan jawaban bukan saja buat beliau tapi kepada saudara saudara seiman lainnya yang sekarang masih dalam lingkaran hizbiyah…. Rytha tidak akan membahas dengan detail dari segi shar’inya karena insyaAllah sudah banyak sekali ulama-ulama ahlul sunnah yang lebih berkompoten yang membahasnya… InsyaAllah akan diberikan referensi kepada mereka yang berhati ikhlas dan memang benar benar mencari jalan yang benar dan lurus dan bersungguh sungguh untuk mempelajarinya…
Yang akan Rytha paparkan di sini adalah apa yang Rytha rasakan dan yang Rytha alami sendiri.. Afwan ini tidak di maksudnya dalam ber ghibah yang semata mata untuk menjelekkan suatu golongan akan tertapi dalam rangka menasehati. Seperti halnya apa yang Imam Nawawi katakan… "Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar'i, di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah, yang demikian itu disebabkan enam perkara : Yang keempat, dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam kondisi-kondisi berikut ini.

Di antaranya, dalam rangka men-jarh (meyebutkan cacat) para majruhin (orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan yang demikian itu diperbolehkan berdasarkan ijma' kaum muslimin, bahkan bisa menjadi wajib hukumnya. Rytha maksud kan tulisan ini sebagai nasehat… insyaAllah….

Rytha menulis judul tulisan ini sebagai Hijrah…. Tapi hijrah di sini bukan bermaksud berarti pindah tempat melainkan hijrah dari duduk dan bermajelis hizbiyah ke lingkungan yang bermanhaj salafus sholeh….

Di indonesia ada suatu hizbiyah1 yang sangat berkembang pesat menguasai hampir sebagian besar aktifitas aktifitas keagamaan yang mereka menyebutkan dirinya adalah "tarbiyah" a.k.a (also known as) "ikhwani" a.k.a "PKS" yang mengadopsi pemikiran ikhwanul muslimin2… dan menggunakan buku buku ulama mereka sebagai text books…
Awalnya keputusan untuk hijrah itu terasa sangat sulit… karena sudah terlanjur dekat dan sayang dengan teman teman se- liqo3. Melihat wajah wajah polos mereka, yang tanpa mereka sadari mereka jatuh dalam suatu lingkaran yang mereka percaya sebagai lingkaran da’wah yang sunnah. Mereka orang-orang yang bersemangat untuk memperjuangkan Islam… Kadang hati semakin berat melihat jundi jundi kecil mereka yang polos….. Sangat sulit, ada perasaaan alangkah jeleknya meninggalkan saudara seiman tanpa terlebih dahulu melakukan sesuatu…..
Dulu Rytha berfikir Rytha lebih baik tetap berada di lingkungan tersebut dan melakukan perubahan sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan Rytha…tapi sepertinya tidak ada bedanya…

Baru akhirnya di sadari hal tersebut tidak tepat. InsyaAllah nanti Rytha akan berbagi mengapa pemikiran tersebut tidak tepat.
Suatu prinsip yang mendarah daging bagi para ikhwah tarbiyah adalah selama semua kelompok-kelompok pengajian yang ada bertujuan untuk mencari keridhoan Allah dan surga, maka kelompok itu semua adalah benar. Menganggap bahwa perbedaan itu adalah fitrah, dan justru menambah "khasanah" kekayaan cara berpikir umat Islam. Benar-benar telah terdoktrin oleh pemikirannya Hasan Al-Banna, yaitu: "Marilah kita bekerja sama untuk hal-hal yang disepakati, dan saling menghargai untuk hal-hal yang berbeda". InsyaAllah akan di share juga masalah ini nanti , Berikut ini adalah beberapa hal yang Rytha temukan menjadikan alasan Rytha untuk hijrah. Rytha akan bagi beberapa poin….

1. Murobbi.
Murobbi atau guru lebih di pilih karena faktor kesenioritasan, berdasarkan lamanya seseorang tersebut bergabung. Sehingga tidak jarang di dapati bahwa kapasitas keilmuan seorang Murobbi lebih rendah dari mad’u nya (murid).
Seorang "murobbi" mengatakan bahwa fenomena itu adalah suatu fenomena yang biasa bahkan inilah yang disebutkan sebagai "tarbiyah" yang sebenarnya. Bahwa kita harus bersabar untuk menghadapi guru yang kapasitas keilmuannya lebih rendah dari kita…Tidak jarang dan tidak aneh kalau Murobbi membaca al Qur’annya lebih jelek dari mad’u nya… mungkin yang di maksud dalam hal ini liqo di harapkan sebagai saran yang saling melengkapi antara mad'u dan murobbi....

Memang banyak pelajaran dan materi liqo yang sesungguhnya bagus dan dzat materi tersebut yang di ajarkan para ulama ahlul sunnah (seperti materi ma’rifatullah, ma’rifaturrasul dan lain lain ), tapi bila materi penting ini di sampaikan oleh murobbi yang belum tentu memiliki ilmu dan pemahaman yang baik, maka ini akan menyesatkan. Mungkin mereka akan membantah bahwa liqo yang sangat sebentar itu sangat mustahil untuk mencetak ahli syariah dan hanya lebih menekan kepada pembentukan generasi yang berwawasan dan berkepribadian Islami…
Tapi fungsi dari murobi sendiri di sini di harapkan murobbi bisa menjadi orang tua, sahabat pemimpin dan guru pada mad’u nya. Selayaknya kapasitas seorang guru yang menyampaikan ilmu haruslah yang memiliki ilmu.

Dari pengalaman yang Rytha lihat di lapangan, setiap orang di tarbiyah bisa menjadi murobbi. Setiap kader di harapkan menjadi murobbi, harus siap siapapun yang di tunjuk untuk menjadi murobbi.
Banyak yang menolak karena merasa kapasitas keilmuannya belum memadai. Tapi biasanya orang tersebut akan di nasehati bahwa kita harus berdawah walaupun untuk satu ayat. Kalau menunggu paham sampai siap… kita tidak akan pernah berda’wah. Di sisi yang lain mereka memerlukan kader yang pro aktif untuk menjadi murobbi karena adanya target perekrutan besar besaran untuk mencapai target beberapa persen dalam pemilu. Jadi di harapkan kader "senior" yang belum memiliki bimbingan (mad’u) harus berusaha mencari bimbingan. Bahkan ini di anggap suatu ke aiban bila sudah lama liqo’ tapi masih tidak memiliki mad’u.

Na’uzubillah… ikhwah yang paham pasti dapat merasakan alangkah berbahayanya pemikiran pemikiran seperti ini….. tapi ikhwah yang sudah berada di tarbiyah ikhwani pasti sangat paham dengan apa yang Rytha katakan…kalau benar benar jujur tidak akan menyangkal fenomena fenomena ini.

Memang benar Rasulullah shalallahu wa`alahi wassalam mengatakan bahwa sampaikanlah walau hanya satu ayat. Tapi ini berarti bahwa kita harus menyampaikan benar benar sesuatu yang sudah kita pahami dan kita kuasai… dan seharusnya berda’wah sesuai dengan kapasitas yang benar benar kita pahami… Dan bukanlah menjadi kewajiban setiap orang untuk menjadi murobbi dan guru.

Menjadi murobbi dadakan atau menjadi murobbi karena di paksakan tanpa mengetahui ilmu syar’i secara benar justru akan menyesatkan…. Hanya berdasarkan belajar dan membaca semalam buku buku syar’i dalam rangka menyampaikan materi…. Ini bukan suatu hal yang menjadikan seorang tersebut sebagai murobbi……

Kalau ingin berfikir jernih dan jujur ini bisa menjadi bibit munculnya pemikiran pemikiran yang salah… dan menimbulkan kebid’ahan kebid’ahan….
Mungkin ada ikhwah yang mengatakan bahwa liqo yang hanya 2 or 3 jam [walau kadang bisa molor sampe seharian tidak jelas]… tidak mungkin sempurna dan hanya sempat disampaikan beberapa hal hal penting saja, jadi para mad’u di harapkan menambah keilmuan lainya karena mereka memiliki perangkat "tarbiyah" yang lain seperti dauroh, mabit, tatsqif, membaca buku dan lain lain.

Ada baiknya kalau begitu para ikhwah tarbiyah juga mengikuti ta’lim dan dauroh ilmiyah dan membaca buku buku ilmiyah yang bermanhaj salaf yang di tulis oleh ulama ulama ahlul sunnah…. (Rytha yakin banyak ikhwah ikhwani yang tidak mengenal siapa yang di sebut ulama ) kebanyakan dari mereka hanya mengenal Hasan Al banna…. Said Qutb, Muhammad Ghazali, Yusuf Qordhawi, Said Hawa dan yang sejenisnya….) Tapi bukan mereka yang Rytha maksud sebagai ahlul sunnah….

InsyaAllah pada kesempatan lain akan di sampaikan beberapa ulama yang karya karya mereka yang patut di jadikan rujukan…. Ini akan lebih baik daripada ikutan mabid (baca: mabit, ed) yang merupakan malam ke-bid’ah-an atau membaca buku buku ulama ulama tersebut di atas yang banyak menyimpang dan di kritik ulama ulama ahlul sunnah….
Setiap orang tidak harus menjadi murobbi.. bahkan seorang ulama besar ahli hadist abad ini Syaikh Nasiruddin Al-Albani beliau mengatakan diri beliau sebagai thollabul ilmy yaitu penuntut ilmu.

Kalau kita tidak memiliki kemampuan dalam bidang syar’i ini malah menjadi wajib bagi kita untuk tidak menyampaikan hal hal yang kita tidak pahami karena Allah sendiri melaknat orang orang yang menyampaikan apa apa yang dia tidak ketahui. Rytha masih ingat dengan penuturan seorang murobbi yang juga seorang istri ustadz bahwa beliau mengaku beliau sih memang tidak paham tentang ilmu syar’i tapi beliau lebih banyak akan berbagi pengalaman hidup. … bisa di bayangkan pengajian lebih banyak di gunakan untuk berbagi pengalaman pribadi, praktek deen hanya banyak didasarkan pada pengalaman dan interpretasi sendiri.. dan menurut apa apa yang di rasakan …..

sedikitnya keilmuan seorang murobbi membuat liqo’at terkadang hanya untuk membuang buang waktu.. Dapat di bayangkan seorang wanita terkadang harus meninggalkan rumah, meninggalkan anaknya atau membawa anaknya untuk berdiam di suatu tempat yang akhirnya berhasil pada kesia siaan…

Rytha bisa merasakan bagaimana merasa sia sianya terkadang seseorang meninggalkan aktifitasnya hanya untuk berkumpul tampa menghasilkan hal berarti…

Pernah seorang murobbi membahas tentang bagaimana kita harus bersikap ramah terhadap sekeliling… kita harus menebar senyum…dan beliau memberi contoh dari perilaku seorang yang baik di lingkungan beliau… sampai pada suatu titik dimana kita juga harus senyum pada orang pemabuk yang merupakan laki laki non mahram…

ketika disampaikan ketidak setujuan…...beliau berusaha mengukuhkan pendapat beliau dengan "pengalaman pribadi beliau" dan cerita pengalaman orang lain… sangat jauh dari tinjauan fiqih dan syar’i yang syarat dengan hadist dan ayat dan juga fatwa fatwa ulama ahlul sunnah.. subhanallah…

Murobbi yang lain… menyampaikan materi dari buku… sepanjang pengajian beliau akan membaca dari buku dan sesekali akan memberikan penjelasan … bukan penjelasan atsar…. Tafsir atau syarah.. atau perkataan ulama.. melainkan penjelasan secara logika .....
footnote
1.Hizbiyyah Bukan Hizbullah : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=81&bagian=0 ; Benang Merah Antara Harokah Dan Khurofat 1/2
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1694&bagian=0
Benang Merah Antara Harokah Dan Khurofat 2/2
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1695&bagian=0 Ciri Khas Pengikut Harokah ½
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1564&bagian=0 Ciri Khas Pengikut Harokah 2/2
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1565&bagian=0
2 Sejarah Ikhwanul Muslimin, http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1653&bagian=0
Manhaj Dakwah Yang Melenceng Dari Syari'ah, http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1785&bagian=0
Sejarah Suram Ikhwanul Muslimin, http://darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=66
3 Istilah pengajian berkelompok sering di sebut liqo.
InsyaAllah bersambung.

[+/-] Selengkapnya...

Friday, December 12, 2008

Bid`ah Hasanah : Satu Penilaian Semula IV

AMARAN MENGADAKAN BID‘AH


Islam adalah agama wahyu dan bukan agama ciptaan manusia. Perbuatan menokok tambah (bid‘ah) dalam agama boleh menghilangkan ketule-nannya, sehingga menyebabkan orang ramai tidak akan dapat membezakan antara ajaran asal yang bersumber daripada Allah dengan yang ditokok tambah oleh manusia. Terdapat banyak hujah daripada al-Quran, al-Sunnah dan para ulama yang memberi amaran agar tidak menokok tambah dalam agama. Berikut ini dikemukakan sebahagian daripada hujah-hujah tersebut:

Amaran daripada al-Qur’an tentang bid‘ah: ...


Pertama:


Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ


Patutkah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang menentukan - mana-mana bahagian dari ugama mereka - sebarang undang-undang yang tidak diizinkan oleh Allah? [al-Syura 42:21]

Kedua:


Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


Oleh itu, hendaklah mereka yang mengingkari perintahnya, beringat serta berjaga-jaga jangan mereka ditimpa bala bencana, atau ditimpa azab seksa yang tidak terperi sakitnya. [al-Nur 24:63]

Ketiga:


Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ


Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan-perbuatan yang keji, sama ada yang nyata atau yang tersembunyi; dan perbuatan dosa; dan perbuatan menceroboh dengan tidak ada alasan yang benar; dan (diharamkan-Nya) kamu mempersekutukan sesuatu dengan Allah sedang Allah tidak menurunkan sebarang bukti (yang membenarkannya); dan (diharamkanNya) kamu memperkatakan terhadap Allah sesuatu yang kamu tidak mengetahuinya.” [al-A’raaf 7:33]



Amaran daripada al-Sunnah tentang bid‘ah:


Hadith Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang memberi amaran kepada pembuat dan pengamal bid‘ah sangat banyak jumlahnya. Kebanyakan para penyusun kitab hadith tidak ketinggalan memasukkan satu bab khas mengenainya di dalam kitab-kitab mereka. Di sini disebutkan beberapa riwayat, antaranya:


Pertama:
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:


...فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.


Sesungguhnya sesiapa yang hidup selepasku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin al-Mahdiyyin (mendapat petunjuk). Berpeganglah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham. Jauhilah kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) kerana setiap yang diada-adakan itu adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat.[1]
Maksud “…gigitlah ianya dengan geraham…” ialah peganglah ianya dengan bersungguh-sungguh serta bersabarlah dengannya.[2]


Kedua:
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:


مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.


“Sesiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (Islam) apa yang bukan daripadanya maka ianya tertolak.”[3]

Ketiga:
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:


وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً. قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَال:َ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.


“……Sesungguhnya Bani Israil berpecah kepada 72 puak dan umatku akan berpecah kepada 73 puak. Kesemua mereka dalam neraka kecuali satu puak”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Apakah puak itu wahai Rasulullah?” Jawab baginda: “Apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.”[4]

Keempat:
Abu Musa al-Asy‘ari radhiallahu 'anh berkata:


صَلَيْنَا المَغْرِبَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ قُلْنَا: لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّى مَعَهُ اْلعَشَاءَ قَالَ: فَجَلَسْنَا فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: "مَا زِلْتُمْ هَهُنَا؟" قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ صَلَيْنَا مَعَكَ الْمَغْرَبَ ثُمَّ قُلْنَا: نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلَّى مَعَكَ اْلعِشَاءَ. قَال:"أحْسَنْتُمْ أَوْ أَصَبْتُمْ" قَالَ: فَرَفَعَ رَأسَهُ إلىَ السَّماِء وَكانَ كَثِيرْاً مِمَّا يَرْفَعُ رَأسَهُ إلىَ السَّماِء فَقَالَ: "النُّجُومُ أَمَنَـةٌ للسَّمَاِء فَإذا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ، وَأناَ أَمَنَـةٌ لأَصْحَابِى فَإذا ذَهَبْتُ أَتى أَصْحَابِى مَا يُوْعَدُونَ وَأَصْحَابِى أَمَنَـةٌ لأمَّتِى فَإذَا ذَهَبَ أصْحَابِى أَتى أُمَّتِى مَا يُوْعَدُون".


“Kami telah menunaikan solat Maghrib bersama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian kami berkata: “Kalaulah kita tunggu sehingga kita dapat bersolat Isyak bersama baginda.” Maka kami tunggu sehingga baginda keluar kepada kami lalu bersabda, “Kamu semua masih di sini?” Jawab kami: “Wahai Rasulullah! Kami telah menunaikan solat Maghrib bersama engkau kemudian kami berkata, mari kita duduk sehingga kita dapat bersolat Isyak bersamamu.” Sabda baginda: “Kamu semua telah melakukan sesuatu yang baik lagi betul.”
Kemudian baginda mengangkat kepalanya (melihat) ke langit dan ramailah yang mengangkat kepala (melihat) ke langit lalu baginda bersabda: “Bintang-bintang tersebut adalah penyelamat langit. Apabila perginya bintang-bintang tersebut maka akan didatangilah langit apa yang telah dijanjikan untuknya. Aku adalah penyelamat sahabat-sahabatku. Apabila aku telah pergi maka akan didatangilah sahabat-sahabatku apa yang telah dijanjikan untuk mereka. Sahabat-sahabatku pula adalah penyelamat umatku. Apabila perginya sahabat-sahabatku maka akan didatangilah umatku apa yang dijanjikan untuk mereka.”[5]


Berkata al-Imam al-Nawawi rahimahullah:[6]
Maksud ungkapan “sahabat-sahabatku adalah penyelamat umatku” ialah mereka menyelamatkan umat dari zahirnya bid‘ah, mengada-adakan perkara baru dalam agama, fitnah terhadap agama, zahirnya syaitan, Rum dan selainnya ke atas mereka.



Amaran daripada para ulama’ tentang bid‘ah:


Para ulama’, terdiri daripada para sahabat dan para tokoh dulu dan kini, turut memberi amaran tentang bid ‘ah. Di sini disebutkan tiga contoh, satu daripada seorang sahabat, satu daripada seorang tokoh terdahulu dan satu daripada seorang tokoh terkini:

Pertama: Amaran ‘Abd Allah bin Mas‘ud.


‘Abd Allah bin Mas‘ud radhiallahu 'anh adalah sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang begitu terkenal dengan keilmuan dan kefahamannya dalam agama. al-Imam al-Darimi rahimahullah (255H) meriwayatkan amaran serta bantahan beliau terhadap bid‘ah berzikir secara kumpulan yang muncul pada zamannya:


عَنْ عمرو بن سلمة قَالَ: كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ فَقَالَ أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْد؟ُ قُلْنَا: لاَ! فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا.
فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْرًا. قَالَ: فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ, فَسَتَرَاهُ. قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ, فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ وَفِي أَيْدِيهِمْ حَصًى, فَيَقُولُ: كَبِّرُوا مِائَةً, فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً. فَيَقُولُ: هَلِّلُوا مِائَةً. فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً. وَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِائَةً. فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً. قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ وَانْتِظَارَ أَمْرِكَ.
قَالَ: أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ, وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ. ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ, فَقَالَ: مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ: فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ, فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ, وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ! هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ, وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ, وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ, أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلاَلَةٍ؟!
قَالُوا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ.
فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.


Daripada ‘Amr bin Salamah[7] katanya: “Satu ketika kami duduk di pintu ‘Abd Allah bin Mas‘ud sebelum solat subuh. Apabila dia keluar, kami akan berjalan bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang kepada kami Abu Musa al-Asy‘ari, lalu bertanya: “Apakah Abu ‘Abd al-Rahman[8] telah keluar kepada kamu?” Kami jawab: “Tidak!”. Maka dia duduk bersama kami sehingga ‘Abd Allah bin Mas‘ud keluar. Apabila dia keluar, kami semua bangun kepadanya.
Lalu Abu Musa al-Asy‘ari berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman, aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang aku tidak bersetuju, tetapi aku tidak lihat – alhamdulilah – melainkan ianya baik”. Dia bertanya: “Apakah ia?”. Kata Abu Musa: “Jika umur kamu panjang engkau akan melihatnya. Aku melihat satu puak, mereka duduk dalam lingkungan (halaqah) menunggu solat. Bagi setiap lingkungan (halaqah) ada seorang lelaki (ketua kumpulan), sementara di tangan mereka yang lain ada anak-anak batu. Apabila lelaki itu berkata : Takbir seratus kali, mereka pun bertakbir seratus kali. Apabila dia berkata: Tahlil seratus kali, mereka pun bertahlil seratus kali. Apabila dia berkata: Tasbih seratus kali, mereka pun bertasbih seratus kali.” Tanya ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Apa yang telah kau katakan kepada mereka?”. Jawabnya: “Aku tidak kata kepada mereka apa-apa kerana menanti pandangan dan perintahmu”.


Berkata ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Mengapa engkau tidak menyuruh mereka mengira dosa mereka dan engkau jaminkan bahawa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun”. Lalu dia berjalan, kami pun berjalan bersamanya. Sehinggalah dia tiba kepada salah satu daripada lingkungan berkenaan. Dia berdiri lantas berkata: “Apa yang aku lihat kamu sedang lakukan ini?” Jawab mereka: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman! Batu yang dengannya kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih”. Jawabnya: “Hitunglah dosa-dosa kamu, aku jamin pahala-pahala kamu tidak hilang sedikit pun. Celaka kamu wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kemusnahan kamu. Para sahabat Nabi masih lagi ramai, baju baginda belum lagi buruk dan bekas makanan dan minuman baginda pun belum lagi pecah.[9] Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya[10] , apakah kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk daripada agama Muhammad, atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu kesesatan?”


Jawab mereka : “Demi Allah wahai Abu ‘Abd al-Rahman, kami hanya bertujuan baik.” Jawabnya : “Betapa ramai yang bertujuan baik, tetapi tidak menepatinya.” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami satu kaum yang membaca al-Quran namun tidak lebih dari kerongkong mereka.[11] Demi Allah aku tidak tahu, barangkali kebanyakan mereka dari kalangan kamu.” Kemudian beliau pergi.
Berkata ‘Amr bin Salamah: “Kami melihat kebanyakan puak tersebut bersama Khawarij memerangi kami pada hari Nahrawan.”[12]


Lihatlah bagaimana ‘Abd Allah bin Mas‘ud radhiallahu 'anh membantah perbuatan ibadah kumpulan ini walaupun mereka pada asalnya memiliki niat dan pandangan yang baik. Pada zahirnya tiada yang buruk pada perbuatan mereka. Namun oleh kerana ia merupakan ibadah yang tidak ada contoh daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka ia ditolak. Bahkan ‘Abd Allah bin Mas‘ud memberi amaran betapa perbuatan bid‘ah yang kecil akan mengheret seseorang kepada bid‘ah yang lebih besar. ‘Abd Allah bin Mas‘ud menggambarkan mereka akan menyertai Khawarij yang sesat. Justeru itu ‘Abd Allah bin Mas‘ud juga pernah menyebut:[13]


اقتصاد في سنة خير من اجتهاد في بدعة.


Sederhana dalam sesuatu sunnah lebih baik daripada bersungguh sungguh dalam sesuatu bid‘ah .


إن البدعة الصغيرة بريد إلى البدعة الكبيرة.


Sesungguhnya bid‘ah yang kecil adalah pembawa kepada bid‘ah yang besar.

Kedua: Amaran al-Imam Malik Bin Anas


Seorang lelaki telah datang kepada al-Imam Malik rahimahullah (179H)[14] dan berkata:[15]
“Wahai Abu ‘Abd Allah (gelaran al-Imam Malik) daripada mana aku patut berihram?” Jawab al-Imam Malik: “Daripada Zu Hulaifah (ذو حليفة) di mana tempat yang Rasulullah berihram.” Kata lelaki itu: “Aku ingin berihram daripada Masjid Nabi.” Jawab al-Imam Malik: “Jangan buat (demikian).” Kata lelaki itu lagi: “Aku ingin berihram daripada kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Jawab al-Imam Malik: “Jangan buat (demikian), aku bimbang menimpa ke atas dirimu fitnah.” Tanya lelaki itu: “Apa fitnahnya? Ia hanya jarak yang aku tambah.”
Jawab al-Imam Malik:


وأي فتنة أعظم من أن ترى أنك سبقت إلى فضيلة قصّر عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم، وإني سمعت الله يقول: فَلْيَحْذَرْ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.


Apakah lagi fitnah yang lebih besar daripada engkau melihat bahawa engkau telah mendahului satu kelebihan yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menguranginya. Sesungguhnya aku telah mendengar Allah berfirman: (maksudnya) “Oleh itu, hendaklah mereka yang mengingkari perintahnya, beringat serta berjaga-jaga jangan mereka ditimpa bala bencana, atau ditimpa azab seksa yang tidak terperi sakitnya. [al-Nur 24:63]


Perhatikan bahawa sekalipun lelaki tersebut ingin berihram daripada tempat yang begitu baik iaitu Masjid Nabi atau kubur baginda shallallahu 'alaihi wasallam, al-Imam Malik rahimahullah membantahnya disebabkan ia adalah ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi. Beliau menyatakan ini adalah fitnah kerana seakan-akan lelaki itu menganggap dia dapat melakukan ibadah yang lebih baik daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketiga: Amaran al-Syeikh Dr Yusuf al-Qaradawi:


Ditanya kepada al-Syeikh Dr. Yusuf al-Qaradawi, semoga Allah memeliharanya, mengenai amalan Nisfu Sya’ban. Beliau menjawab:[16]
Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban, membaca do‘a tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid. Mereka membaca surah Yasin dan solat dua raka‘at dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do‘a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi‘in dan tabi’ tabi‘in). Ianya satu do‘a yang panjang yang menyanggahi nusus (nas-nas al-Quran dan al-Sunnah), juga bercanggahan dan bertentang maknanya...


Perhimpunan (malam Nisfu Sya’ban) seperti yang kita lihat dan dengar berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah bid‘ah dan diada-adakan. Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas. Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bid‘ah golongan selepas mereka dan setiap yang diadakan-adakan itu bid‘ah dan setiap yang bid‘ah itu sesat dan setiap yang sesat itu berada dalam neraka.
Demikian tegasnya tokoh yang masyhur ini terhadap amalan bid‘ah yang menjadi pegangan atau amalan dalam kebanyakan negeri umat Islam.


PENUTUP


Dalam ibadah tidak memadai hanya dengan niat yang baik tanpa mengikut syariat atau sunnah. Niat yang baik mestilah diiringi dengan cara yang betul. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ


Dia-lah yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup - untuk menguji dan menzahirkan keadaan kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya; dan Ia Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha Pengampun. [al-Mulk 67:02]
Makna “lebih baik amalnya” (أحسن عملا ) ialah siapa yang amalannya paling ikhlas dan paling betul (أخلصه وأصوبه). Ini kerana sesuatu amalan jika ikhlas tetapi tidak betul maka ianya tidak diterima. Begitu juga sekiranya betul tetapi tidak ikhlas, maka ianya tidak diterima.Betul merujuk kepada apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.

Insan tanpa panduan al-Quran dan al-Sunnah akan tersesat dalam menentukan cara ibadah kepada tuhan. Ini kerana sesuatu amalan jika ikhlas tetapi tidak betul maka ianya tidak diterima. Begitu juga sekiranya betul tetapi tidak ikhlas, maka ianya tidak diterima.yang berlaku di dalam agama-agama palsu. Mereka mencipta cara ibadah menurut akal fikiran mereka tanpa tunjuk ajar wahyu. Mereka tersesat jalan kerana mendakwa kehendak tuhan dalam ibadah tanpa bukti, sekalipun mungkin mereka itu ikhlas. Ini kerana ibadah adalah agama dan agama tidak boleh diambil melainkan dari tuhan itu sendiri. Untuk itu Islam mengharamkan bid‘ah atau mengada-adakan ibadah tanpa bersumber daripada al-Quran dan al-Sunnah. Keikhlasan tanpa diikuti dengan cara yang ditunjukkan oleh al-Quran dan al-Sunnah adalah sama seperti amalan percipta agama palsu yang ikhlas tanpa bimbingan wahyu.


Justeru itu ibadah mestilah bertepatan dengan apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdalilkan apa yang disebut oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ


Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu. Dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” [Ali Imran 3:31]
Islam mengharamkan bid‘ah atau mengada-adakan ibadah tanpa bersumber daripada al-Quran dan al-Sunnah. Keikhlasan tanpa diikuti dengan cara yang ditunjukkan oleh al-Quran dan al-Sunnah adalah sama seperti amalan percipta agama palsu yang ikhlas tanpa bimbingan wahyu.Ibadah yang tidak mengikut cara yang ditunjukkan oleh baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sekalipun niat pengamalnya baik, adalah tertolak. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِي


Dan sesiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan diterima daripadanya, dan dia pada hari akhirat kelak dari orang-orang yang rugi. [Ali Imran 3:85]

Tidak boleh bagi sesiapa pun dari kalangan imam-imam kaum muslimin sekalipun tinggi darjat ilmunya, demikian juga tidak boleh bagi mana-mana badan ilmu sekalipun hebat kedudukannya, demikian juga tidak boleh bagi mana-mana institusi ilmu, atau golongan dari kaum muslimin sama ada kecil atau besar, untuk mencipta (ibtida’) ibadah yang baru dalam agama Allah atau menokok tambah ibadah yang ada dalam agama atau mengubah cara yang dilakukan pada zaman Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam. Ini kerana pembuat syari‘at hanyalah Allah manakala al-Rasul (Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam) adalah penyampainya sedangkan kita hanyalah pengikutnya. Segala kebaikan itu dalam al-ittiba’ (mengikut apa yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya).Dr. ‘Abd al-Karim Zaidan, semoga Allah memeliharanya, turut menekankan perbezaan antara niat yang ikhlas dan ibadah yang betul:


Amalan salih ialah apa yang sahih dan ikhlas kepada Allah. Apa yang sahih itu ialah yang menepati syarak. Maka membuat bid‘ah dalam agama dengan menambah atau mengurangkannya adalah sesuatu yang tidak dibolehkan dan tiada pahala bagi pengamalnya sekalipun dengan niat beribadah kepada Allah…


Bid‘ah itu lebih buruk daripada maksiat. Ini kerana bid‘ah me-ngubah agama serta menghukum dan mentohmah syarak sebagai cacat, berhajatkan kepada penyempurnaan, (sama ada dalam bentuk) pengurangan dan mengubahan. Ini adalah perkara yang sangat besar yang tidak boleh kita beriktikad atau beramal dengannya.a dengan menambah atau mengurangkannya adalah sesuatu yang tidak dibolehkan dan tiada pahala bagi pengamalnya sekalipun dengan niat beribadah kepada Allah…Untuk itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberi amaran mengenai bid‘ah, sabdanya:


وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.


Jauhilah kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) kerana setiap yang diada-adakan itu adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat.Maka segala kebaikan ialah apa yang dibawa oleh syarak dan berpada dengannya.


Perlu ditekankan di sini, manhaj kita Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah ialah tidak menghukum seseorang kerana kejahilan yang tidak disengajakannya. Oleh itu jika seseorang itu melakukan ibadah dengan sangkaan ia adalah benar sedangkan hakikatnya adalah sebaliknya, dia tetap memperolehi pahala. Seseorang itu tidak dihukum disebabkan kejahilannya yang tidak disengajakan sedangkan dia telah berusaha untuk mendapatkan ilmu. Contohnya ialah orang awam yang tidak dapat membezakan antara hadith dengan bukan hadith, sahih dengan tidak sahih dan yang tidak mampu mengambil maklumat agama daripada sumbernya yang tulen. Ini semua dengan syarat dia tetap berusaha dan apabila sampai kepadanya ilmu yang sahih dan tulen, dia tidak bersikap ego terhadapnya tetapi terus merendahkan diri menerimanya. Hendaklah dia bertaubat dengan meninggalkan apa yang sebelum ini disangkakan benar kepada apa yang kini diketahuinya sahih lagi tulen. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:


إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً


Kecuali orang yang bertaubat dan beriman serta mengerjakan amal yang baik, maka orang-orang itu, Allah akan menggantikan kejahatan mereka dengan kebaikan dan adalah Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. [al-Furqan 25:70]


Umat Islam sepatutnya berlumba-lumba membuat bid‘ah dalam urusan dunia, bukan agama. Mereka diizinkan, malah disuruh memulakan perkara baru dalam urusan dunia yang memberi manfaat. Perkara kedua yang perlu ditekankan adalah, umat Islam sepatutnya berlumba-lumba membuat bid‘ah dalam urusan dunia, bukan agama. Malangnya mereka tidak membuat bid‘ah ini, iaitu memulakan ciptaan baru seperti senjata, peralatan moden, perubatan dan sebagainya. Padahal mereka diizinkan, malah disuruh memulakan perkara baru dalam urusan dunia yang memberi manfaat. Umat Islam masa kini jarang-jarang, malah hampir tiada, memulakan perkara yang baru dalam urusan dunia, sebaliknya hanya bergantung kepada dunia Barat.

Akhir kata, marilah kita berusaha agar ibadah kita menepati sunnah dan menjauhi bid‘ah. Marilah kita mendalami ilmu yang sahih lagi tulen agar dengan itu ibadah kita adalah sahih dan tulen juga. Apabila kita telah mencapai tahap ini, marilah kita membuktikan kesyukuran kita kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala dengan menyampaikan ilmu yang sahih dan tulen kepada umat Islam yang selainnya. Jangan menghukum mereka secara terburu-buru, sebaliknya betulkanlah mereka secara hikmah dan bijaksana. Jangan merasa gembira hanya apabila diri sendiri berada di atas kesahihan dan ketulenan tetapi bergembiralah hanya apabila umat Islam semuanya berada di atas kesahihan dan ketulenan. Berpegang kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bukan sahaja dalam beribadah tetapi juga dalam berdakwah:


فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ


Maka dengan sebab rahmat (yang melimpah-limpah) dari Allah (kepadamu wahai Muhammad), engkau telah bersikap lemah-lembut kepada mereka (sahabat-sahabat dan pengikutmu), dan kalaulah engkau bersikap kasar lagi keras hati, tentulah mereka lari dari kelilingmu.
Oleh itu maafkanlah mereka (mengenai kesalahan yang mereka lakukan terhadapmu), dan pohonkanlah ampun bagi mereka, dan juga bermesyuaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah berazam (sesudah bermesyuarat, untuk membuat sesuatu) maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengasihi orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. [Ali Imran 3:159]

footnote
[1] Diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Tirmizi, berkata al-Tirmizi: “Hadis ini hasan sahih”. Juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Darimi dalam kitab Sunan mereka. Demikian juga oleh Ibn Hibban dalam Shahihnya dan al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan menyatakan: “Hadith ini sahih”. Ini dipersetujui oleh al-Imam al-Zahabi (Tahqiq al-Mustadrak, 1/288).
[2] al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwazi (تحفة الأحوذي), jld. 7, m.s. 414.
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Rujuk Shahih Muslim – hadith no: 1718 (Kitab al-Aqdiyyah, Bab kritikan ke atas hukum batil dan perkara ciptaan baru).
[4] Diriwayatkan oleh al-Tirmizi dalam kitab Sunannya dan beliau berkata: “Hadis ini hasan gharib”. al-Diya` al-Maqdisi (الضياء المقدسي) menyatakan sanad hadith ini hasan. (al-Diya al-Maqdisi¸ al-Ahadith al-Mukhtarah, jld. 7, m.s. 278). al-Albani juga menyatakan ianya hasan. (al-Albani, Shahih Sunan al-Tirmizi, jld. 2, m.s. 334).
[5] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahihnya – hadith no: 2531 (Kitab keutamaan para sahabat, Bab menerangkan Nabi meninggalkan amanah kepada para sahabat...).
[6] Syarh Sahih Muslim, 16/66.
[7] Beliau adalah seorang tabi`in, anak murid ‘Abd Allah bin Masud. Meninggal dunia pada 85H.
[8] Gelaran untuk `Abd Allah bin Mas`ud.
[9] Maksudnya baginda shallallahu ‘alaihi wasallam baru sahaja wafat, tetapi mereka telah melakukan bid`ah.
[10] Maksudnya Allah.
[11] Ini salah satu sifat Khawarij yang disebut dalam hadith-hadith.
[12] Riwayat al-Darimi di dalam Musnadnya dengan sanad yang dinilai sahih oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadith al-Shahihah, jld. 5, m.s. 11.
[13] Lihat: Silsilah al-Ahadith al-Sahihah, jld. 5, m.s. 11.
[14] Beliau ialah imam Mazhab Maliki, pembesar Atba’ al-Tabi‘in. Guru kepada al-Imam al-Syafi'i. Tokoh fekah dan hadith yang tiada tolok bandingnya. Karya beliau yang agung ialah kitab al-Muwattha’. Berkata al-Imam al-Sayuti: “Beliau guru para imam, Imam Dar al-Hijrah (Madinah), mengambil hadith daripadanya oleh al-Syafi‘i dan ramai lagi. Berkata al-Syafi’i: ‘Apabila datangnya athar, maka Malik adalah bintang’.” (al-Imam al-Sayuti, Tabaqat al-Huffaz, jld. 1, m.s. 96)
[15] al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 102.
[16] Dr. Yusuf al-Qaradawi, Fatawa Mu`asarah, jld. 1, m.s. 382-383 (nukilan berpisah).

[+/-] Selengkapnya...