Tuesday, November 18, 2008

MENEPIS KEKELIRUAN PANDANGAN TERHADAP POLIGAMI

Poligami merupakan syari'at Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Tidak ada yang mencelanya, kecuali orang yang telah dibutakan oleh Allah Azza wa Jalla mata hatinya dengan kekufuran. Pembatasan poligami dengan empat isteri, juga merupakan pembatasan yang datangnya dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembatasan jumlah ini bersifat tengah-tengah antara sedikit (monogami), yang menyebabkan terabaikannya sebagian manfaat kaum lelaki, atau banyak (lebih dari empat) yang dikhawatirkan tidak adanya kemampuan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban rumah tangga terhadap seluruh isteri...

MENEPIS KEKELIRUAN PANDANGAN TERHADAP POLIGAMI

Di antara petunjuk al Qur`an, yang memberikan petunjuk jalan yang lurus, yaitu dibolehkannya seorang laki-laki melakukan poligami hingga empat isteri. Meski demikian, bila seorang lelaki merasa khawatir tidak mampu berbuat adil, maka diharuskan baginya cukup mempunyai satu isteri saja atau memiliki budak perempuan, sebagaimana firman Allah k dalam surat an-Nisaa` ayat 3 :

“Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [1]

Ada beberapa alasan mengapa seorang laki-laki boleh melakukan poligami, di antaranya ialah untuk kebaikan wanita, disebabkan terhalangnya sebagian wanita dari menikah. Juga untuk kebaikan laki-laki, supaya manfaat yang ada pada dirinya boleh dipergunakan sebaik mungkin, yang tidak mungkin optimalisasi itu terlaksana kalau hanya mempunyai satu isteri saja. Alasan lainnya, ialah untuk kebaikan ummat, yakni memperbanyak jumlah kaum Muslimin. Kerana dengan banyaknya kaum Muslimin yang terlahir dari perkawinan ini, memungkinkan mereka melawan musuh untuk meninggikan kalimat Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai yang tertinggi.

Poligami merupakan syari'at Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Tidak ada yang mencelanya, kecuali orang yang telah dibutakan oleh Allah Azza wa Jalla mata hatinya dengan kekufuran. Pembatasan poligami dengan empat isteri, juga merupakan pembatasan yang datangnya dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembatasan jumlah ini bersifat tengah-tengah antara sedikit (monogami), yang menyebabkan terabaikannya sebagian manfaat kaum lelaki, atau banyak (lebih dari empat) yang dikhawatirkan tidak adanya kemampuan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban rumah tangga terhadap seluruh isteri [2]

Pada akhir-akhir ini muncul generasi yang memiliki pemikiran sebagaimana orang-orang barat. Mereka mendapatkan pendidikan barat, baik di negeri sendiri ataupun di negeri orang kafir, dan dipengaruhi dengan pemikiran-pemikiran orientalis yang memusuhi Islam.

Terkadang sangat jelas kebatilannya dan juga terkadang tampaknya baik, tetapi di balik itu terdapat penyimpangan yang disembunyikan, hingga menimbulkan kerancuan dan kekacauan pemikiran di kalangan kaum Muslimin. Yang pada akhirnya pemikiran mereka berkembang hingga taraf pengingkaran terhadap syari'at. Di antara kerancuan pemikiran mereka, yaitu dalam hal poligami. Menurut mereka, poligami dianggap sebagai perbuatan zhalim, sehingga tidak benar jika diperbolehkan. Sebagian lagi ada yang secara terang-terangan menentang poligami, sebagian lagi dengan cara halus.
Berikut kami contohkan di antara syubhat-syubhat yang mereka lontarkan.

Syubhat Pertama.

Para penentang poligami menyatakan adanya larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali untuk menikahi anak perempuan Abu Jahl dan mengumpulkannya dengan Fatimah binti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [3].

Dengan menyandarkan kepada larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali agar tidak mengumpulkan Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl, maka sebagian penentang poligami memberikan komentar dan mengatakan, sesungguhnya Rasulullah shalallahu wa`alahi wassalam telah melarang Ali untuk menikah dengan anak perempuan Abu Jahl dan dikumpulkan bersama Fatimah. Bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan, maka kami melarang para suami menikahi wanita lain bersama dengan anak-anak perempuan kami, dan kamipun tidak melakukan poligami, karena ini termasuk di antara perkara-perkara yang bisa menyakiti orang-tua maupun isteri-isteri kami.

Jawab:
Syubhat yang mereka berikan itu, hakikatnya sudah tertolak dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla membolehkan seorang laki-laki untuk menikahi wanita lebih dari satu, dan juga memerintahkan untuk menikahi satu isteri saja bila merasa khawatir tidak mampu berbuat adil. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah melarang Ali memadu Fatimah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikah dengan sembilan isteri, maka ucapan beliau adalah hujjah, demikian juga dengan perbuatannya. Bantahan secara detail, di antaranya terdapat di dalam hadist itu sendiri. Pendapat ini lebih utama, sedangkan yang lainnya merupakan kesimpulan dan pendapat dari para ulama. Berikut adalah penjelasannya.

[1]. Bantahan tersebut telah datang dalam nash hadist tersebut sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Tidak akan berkumpul putri Nabi Allah dengan anak perempuan musuh Allah selama-lamanya”.

Dalam riwayat Muslim :

Dalam satu tempat selama-lamanya.

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

Pada satu laki-laki selama-selamanya.

Maka ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian pendapat sebagian ulama.

Ibnu Tiin berkata,"Pendapat yang paling benar dalam membawa makna kisah ini adalah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan kepada Ali, yaitu tidak mengumpulkan putri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan Abu Jahl karena akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi hukumnya haram, berdasarkan ijma’. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 'Aku tidak mengharamkan perkara yang halal,' maknanya, dia (anak perempuan Abu Jahl) halal baginya kalau saja Fatimah bukan isterinya. Sedangkan mengumpulkan keduanya yang dapat menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka tidak boleh".[4]

Imam Nawawi rahimahullah berpendapat, diharamkan mengumpulkan di antara keduanya dan makna sabda Nabi "Aku tidak mengharamkan perkara yang halal," maksudnya adalah, aku (Nabi) tidak mengatakan sesuatu yang menyelisihi hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan sesuatu, aku tidak akan mengharamkannya. Dan jika Allah mengharamkan sesuatu, aku tidak akan menghalalkannya. Dan aku, juga tidak diam dari pengharaman sesuatu, karena diamku berarti penghalalan sesuatu tersebut. Maka, ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan musuh Allah Subhanhu wa Ta’ala.[5]

[2]. Hadits ini menunjukkan di antara kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu putri-putri beliau tidak boleh dimadu.[6]

[3]. Hal ini khusus bagi Fathimah, kerana dia telah kehilangan ibunya dan juga saudara-saudara perempuannya, sehingga tidak tersisa lagi orang yang bisa diajak bertukar pikiran atau meringankan beban pikiran, atau untuk menyampaikan rahasia apabila muncul rasa cemburunya [7]. Berbeza dengan isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena jika mereka mendapatkan problem semisal di atas, maka mereka bisa mengadu kepada orang yang bisa menyelesaikan masalah tersebut, yaitu suami mereka, yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini disebabkan dengan apa yang ada pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu sifat lemah-lembut, kebaikan hati, menjaga perasaan. Sehingga semua isteri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ridha dengan kebaikan akhlak dan seluruh sikap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga jika muncul kecemburuan, maka bisa segera teratasi dalam waktu cepat.

[4]. Sesungguhnya hal itu bukan berarti larangan, akan tetapi maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sikap percaya dirinya dan keteguhannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau mengetahui bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala –dan ini termasuk karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau- tidak akan mengumpulkan Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl. Seperti perkataan Sahabat Anas bin Nadhir tatkala saudara perempuannya mematahkan gigi seri seorang wanita, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menegakkan qishash, akan tetapi Anas bin Nadhir berkata: "Apakah engkau hendak mematahkan gigi Rabi'? Tidak! Demi Allah . Engkau tidak mungkin mematahkan giginya, selama-lamanya. Maka keluarga wanita tersebut akhirnya mau menerima diyat dan gigi seri milik Rabi’tidak dipatahkan, sehingga berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah, kalau dia bersumpah dengan nama Allah, Allah berkenan mengabulkannya” [8]

Penulis asal :
Abu Sa'ad Muhammad Nurhuda

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
__________
Foote Note
[1]. Adhwa’ul Bayan (3/22) karya Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah
[2]. Ibid (3/24)
[3]. Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari (5/2004) dan Imam Muslim (4/1902) dengan lafazh : “ Rasulullah bersabda dan beliau di atas mimbar : “Bahwasanya keluarga Bani Hasyim bin Mughirah meminta ijin untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib, maka aku tidak mengijjinkannya, aku tidak mengijinkannya, aku tidak mengijinkannya, kecuali bila Ali menceraikan putriku dan menikahi anak perempaun mereka. Sesungguhnya Fathimah merupakan bagian dariku, meragukanku apa yang meragukannya, menyakitiku apa yang menyakitinya”
[4]. Fathul Bari (9/328)
[5]. Syarhu Muslim (5/313)
[6]. Fathul Bari (9/329)
[7]. Ibid
[8]. Fuqh Ta’adud Az-Zaujat, 127

bersambung

No comments:

Post a Comment